Senin, 04 Oktober 2010

MEMBANGUN PROFIL KELUARGA YANG MERDEKA DARI NARKOBA


Sadar (Media Komunikasi Resmi BNN) 2008

Wawasan

MEMBANGUN PROFIL KELUARGA YANG MERDEKA DARI NARKOBA

BAPAK dan Ibu Atmo sedang bingung. Novi, putri mereka, kedapatan sedang teler di rumah temannya setelah menggunakan narkoba. Mereka tidak percaya putri mereka yang dulu begitu lucu dan lugu sekarang telah menjadi pecandu narkoba.

Keadaan makin buruk, karena setelah itu mereka saling menyalahkan. Sang istri menyalahkan suami karena tidak pernah di rumah dan terlalu sibuk dengan pekerjaan. Sang suami menyalahkan istri yang tidak mendukung upayanya untuk mendapatkan uang dengan bekerja. Istri dianggap tidak mampu mengontrol dan mendidik anak. Karena kesal dengan pertengkaran yang kerap terjadi di rumah, Anto anak laki-lakinya memutuskan untuk kabur dari rumah. Bapak dan Ibu Atmo makin bingung dibuatnya.

Dalam kasus penyalahgunaan narkoba, keluarga kerap menjadi pihak yang paling terakhir tahu tentang hal ini. Biasanya reaksi-reaksi emosional senantiasa menyertai kejadian seperti itu. Bisa marah, sedih, heran, atau kaget. Bayangkan jika peristiwa tersebut dialami keluarga kita. Reaksi-reaksi seperti apa yang akan kita tampilkan? Sanggupkah kita menerima kenyataan ini? Apakah ada cara agar kita bisa terhindarkan dari peristiwa-peristiwa seperti itu? Bagaimana membentuk sebuah keluarga yang baik yang anggota-anggotanya punya rasa memiliki dan bertanggung jawab kepada dirinya sendiri maupun untuk keluarganya?

Keluarga dan Narkoba

Riset protektif yang dilakukan Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCBA) pada 2005 menemukan sejumlah fakta yang membuat seseorang tidak menggunakan narkoba. Faktor-faktor tersebut berupa faktor internal dan eksternal. Pada faktor eksternal, ada profil keluarga tertentu yang ditemukan pada bukan pecandu. Diduga, profil keluarga itu yang bisa menjadi faktor protektif (pencegah) seseorang untuk menyalahgunakan narkoba.

Profil yang digambarkan dari riset tersebut adalah sebuah keluarga yang anggota-anggota keluarganya (khususnya orang tua) saling membantu untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah anak yang sulit maupun menyelesaikan masalah-masalah pribadi. Pada keluarga ini, orang tua memantau kegiatan anak dan memberi kesempatan untuk bertukar pikiran dengan anak. Antar anggota keluarga saling memperhatikan dan jarang ada pertengkaran. Orang tua memiliki waktu khusus bersama anak (umumnya di Sabtu atau Minggu) dan jarang memberi hukuman pada anak.

Namun, perlu dicatat hasil penelitian ini hendaknya tidak dijadikan acuan baku. Artinya jika kita tidak pernah membantu anak menyelesaikan pekerjaan sekolah yang sulit, tidak bisa langsung disimpulkan anak kita terkena narkoba. Atau sebaliknya, jika membantu anak menyelesaikan persoalan pribadinya, pasti ia tidak akan terkena narkoba. Masih ada faktor lain yang berperan.

Model Keluarga

Lalu seperti apa bentuk nyata profil keluarga seperti itu? Harus diakui dalam situasi sekarang tidak mudah untuk mencari contoh keluarga seperti itu. Entah kenapa di kepala ini yang langsung muncul adalah keluarga Cosby. Ya, ini sebuah keluarga rekaan di televisi tahun 80-an. Sungguh menyenangkan menyaksikan pola interaksi yang ada dalam keluarga tersebut. Terasa betul kehangatan antar anggota keluarga. Problema dalam keluarga tetap ada, tapi dapat diselesaikan dengan humor dan kedamaian.

Pertanyaan berikutnya adalah mungkinkah keluarga seperti itu diciptakan atau diusahakan? Adakah patokan-patokan tertentu untuk membangun keluarga, mengingat salah satu faktor pencegah penyalahgunaan narkoba adalah keluarga?

Stephen Covey dalam bukunya 7 Habits for Highly Effective Family menganjurkan tujuh kebiasaan untuk menciptakan keluarga yang efektif. Ia mengajak keluarga-keluarga untuk membangun kebiasaan-kebiasaan tertentu yang pada akhirnya bisa membentuk sebuah keluarga yang baik.

Covey sangat meyakini keluarga efektif bisa diupayakan melalui pembentukan karakter dari setiap anggota keluarga. Sementara itu, karakter sendiri dapat dibentuk dengan menjalankan sejumlah kebiasaan (habits) secara berkesinambungan. Ia mengatakan, "Siapa menabur gagasan akan menuai perbuatan, siapa menabur perbuatan akan menuai kebiasaan, dan siapa yang menuai kebiasaan akan menuai karakter."

Sebuah keluarga, menurut Covey, dapat diibaratkan sebuah pesawat yang sedang menjalani sebuah rute penerbangan dari sebuah bandara menuju bandara tertentu. Sebelum pesawat tinggal landas. Pilot telah memiliki rencana penerbangan (flight plan). Mereka telah mengetahui harus berada di jalur penerbangan mana dan menuju ke arah mana. Pada kenyataannya, tidak seluruh rencana tersebut dapat dijalankan. Kadang-kadang gangguan angin, cuaca hujan, dan sebagainya dapat menyebabkan pesawat tersebut harus keluar dulu dari jalurnya dan melakukan sejumlah penyesuaian. Namun, pesawat tetap akan mengarah pada tujuan semula. Keberadaan tujuan (yang diistilahkan Covey sebagai vision) merupakan kunci penting untuk membentuk keluarga efektif.

Seperti juga pesawat tadi, keluarga-keluarga kerap keluar dari jalur dan dari rencana-rencana yang telah dibuat sebelumnya. Di sini kita tidak perlu terlalu khawatir karena, menurut Covey, 90% keluarga pernah keluar dari jalur. Yang perlu lebih kita waspadai adalah karena kebanyakan keluarga tidak mempunyai tujuan.

Dalam kerangka itulah, Covey menganjurkan keluarga-keluarga untuk menjalankan tujuh kebiasaan guna membentuk keluarga memiliki sebuah tujuan dan senantiasa ingat untuk kembali kepada jalur semula, manakala kita telah menyimpang cukup jauh. Kebiasaan-kebiasaan itu akan memunculkan harapan-harapan baru manakala keluarga kita sedang kesusahan.

Kebiasaan yang dimaksud Covey di sini mencakup pengetahuan (tentang apa yang dan mengapa dilakukan), keinginan untuk melakukan, dan keterampilan (tahu bagaimana melakukannya). Memiliki pengetahuan untuk melakukan sesuatu, tapi tidak punya keinginan dan tidak memiliki keterampilan tentu tidak akan menghasilkan apa-apa, dan demikian seterusnya. Ketiga hal itu tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Misalnya saja kita tahu harus mendengarkan (listening) anak dan kenapa itu penting. Kita punya keinginan kuat untuk mendengarkan. Namun, bila kita tidak punya keterampilan untuk mendengarkan, sia-sia saja.

Tujuh Kebiasaan

Ada orang yang langsung menampilkan reaksi tertentu manakala ia mendapat rangsangan tertentu. Misalnya, selalu menampilkan reaksi marah dan (sering diucapkan sebagai marah balik) pada waktu dimarahi, senantiasa mengomel pada waktu anak melaporkan nilai jelek. Biasanya mereka akan mengatakan, "Saya begini karena anda (atau orang lain) melakukan hal yang tidak menyenangkan kepada saya." Benarkah demikian? Benarkah reaksi kita ditentukan stimulus apa yang diberikan orang lain kepada kita?

Hal itu disadari Covey. Menurutnya, sebagai manusia kita memiliki tanggung jawab (responsibility) terhadap hidup kita. Responsibility menurut Covey berasal dari kata response dan ability. Jadi, kita sebenarnya memiliki kemampuan untuk memilih respons mana yang ingin kita tampilkan dalam situasi tertentu. Kita bukan budak dari kondisi dan stimulus. Kembali pada contoh di atas, sesungguhnya kitalah yang memilih respons untuk marah atau tidak marah pada waktu kita sedang dimarahi orang lain. Kita bisa memilih untuk tidak mengomel atau tetap merasa nyaman pada waktu ada orang yang berbuat tidak enak kepada kita. Jika kita sadar bahwa kita memiliki kemerdekaan untuk memilih respons apa yang kita tampilkan dalam sebuah situasi, kita sudah mengembangkan kebiasaan pertama yaitu jadilah proaktif (be proaktive).

Salah satu hal yang bisa membedakan orang proaktif dengan orang reaktif adalah bahasa yang mereka gunakan. Bahasa orang reaktif misalnya, "Tidak ada lagi yang bisa saya lakukan, saya memang sudah begitu dari dulu, saya harus..." Sementara itu, orang proaktif menggunakan bahasa, "Mari kita lihat alternatif lain, saya mau mencoba pendekatan yang lain, saya memilih untuk..."

Covey menyarankan untuk tidak bersikap reaktif (berdasarkan emosi atau kondisi sesaat saja). Keluarga-keluarga perlu menyadari perilaku yang ditampilkan dalam keluarga sebenarnya bukan korban keadaan (condition), melainkan sebuah pilihan (decision). Kebiasaan itu dapat ditumbuhkan di dalam keluarga, misalnya dengan tidak ikut-ikutan membicarakan seseorang yang tidak tidak hadir pada waktu pembicaraan terjadi, dan meminta maaf jika melakukan kesalahan, dan tidak menyontek meskipun tidak belajar. Kebiasaan kedua adalah memulai segala sesuatu dengan gambaran hasil akhir (begin with the end in mind) yang jelas. Dari sini kita bisa membuat langkah-langkah apa yang akan kita lakukan untuk mencapai hal tersebut. Ini akan membuat perilaku kita lebih efesien dan terarah. Hasil akhir (end in mind) dapat terpusat pada berbagai hal seperti keluarga, pasangan, uang, pekerjaan, agama, dan kenikmatan yang kita anggap penting buat kita.

Covey menganjurkan sebuah cara guna menemukan end in mind bagi hidup kita masing-masing. Caranya adalah membayangkan apa yang kita ingin orang lain ucapkan tentang kita pada waktu upacara pemakaman kita. Apakah kita akan dikenang sebagai seseorang yang sangat perhatian pada keluarga, pekerja keras yang jujur, atau sebagai seseorang yang jahat, koruptor, atau penjahat kelas kakap. Membuat rumusan tentang keluarga seperti apa yang ingin kita bentuk bisa menjadi sebuah cara untuk membangun keluarga efektif. Kita juga bisa membiasakan setiap anggota keluarga untuk selalu memilki end in mind yang jelas sebelum melakukan sesuatu. Selain itu, kita juga perlu mengingatkan setiap anggota keluarga apakah perilaku yang ditampilkan mendukung pencapaian end in mind yang telah direncanakan.

Kebiasaan ketiga adalah dahulukan hal-hal yang penting (put first things firts). Hal yang penting adalah hal yang memang memiliki kaitan erat dengan tujuan keluarga. Di luar itu boleh diturunkan prioritasnya. Sebaiknya kita memang memikirkan hal-hal apa yang penting bagi keluarga kita. Misalnya ada seorang kawan dekat yang mengatakan hal penting baginya adalah keluarga. Karena itu, bekerja keras dianggapnya sudah memberikan yang terbaik bagi keluarga. Namun, dia bekerja tidak kenal waktu sehingga keluarganya terlantar. Memang dia menghasilkan banyak uang, tapi bukan itu semua yang diharapkan keluarganya. Mereka mengharapkan kawan tersebut hadir di rumah dan bercengkerama dengan keluarga. Apakah benar kawan kita ini sudah mengutamakan keluarganya?

Pada titik ini, klarifikasi terhadap hal yang dianggap utama menjadi penting. Apa yang dianggap sebagai hal utama oleh seorang anggota keluarga belum tentu selaras dengan hal utama anggota keluarga yang lain. Coba bayangkan bagaimana bisa seorang anak menghabiskan waktu 7 jam sehari di depan televisi, tapi hanya 5 menit yang dihabiskan bersama ayahnya. Saran yang diberikan Covey untuk bisa mendahulukan yang utama adalah membangun kebiasaan membuat rencana. Duduk bersama pasangan dan anak, merencanakan dua bulan ke depan mau melakukan apa (mengunjungi keluarga lain, mempersiapkan ulang tahun, berlibur, ke mal, nonton bareng, atau apa pun). Pastikan anak-anak diberikan kesempatan untuk memberikan ide-idenya. Saran lain adalah komit terhadap acara-acara keluarga, rencanakan rapat atau aktivitas harian Anda dengan baik. Juga, sediakan waktu untuk pertemuan satu lawan satu dengan tiap anggota keluarga secara teratur.

Keempat adalah berpikir menang-menang (think win-win). Hindari cara berpikir untuk menang-kalah atau kalah-kalah. Di sini, perlu kreativitas untuk mencari solusi-solusi yang bisa membuat seluruh pihak merasa menang dalam penyelesaian masalah. Perlu diingat, tidak ada seorang pun yang suka mengalami kesalahan. Covey menuturkan sebuah kisah beberapa anak yang baru saja kehilangan ayah dan ibu mereka karena kecelakaan pesawat. Tidak lama setelah itu, mereka ribut memperebutkan benda-benda yang bisa membuat mereka memiliki kenangan akan orang tua mereka. Mereka tidak mau saling mengalah, mendahulukan kepentingan pribadi. Mereka akhirnya bisa menyelesaikan masalah mereka setelah menggunakan pendekatan menang-menang dengan menyadari hubungan persaudaraan jauh lebih penting.

Salah satu hal yang bisa membuat seseorang berpikir menang adalah mentalitas berkelimpahan (abudance mentality). Tiap anggota keluarga tidak hanya berbicara tentang saya, tapi tentang kita. Selain itu, tiap anggota juga perlu diajak untuk melihat gambaran yang lebih besar (the big picture) dari persoalan yang tengah terjadi. Covey menganjurkan cara-cara praktis untuk menanamkan pola pikir menang-menang itu kepada anak-anak. Misalnya dengan mengajak anak-anak berjalan-jalan ke taman dan pantai. Bicarakan betapa mengagumkannya matahari dan betapa matahari itu tersedia cukup untuk setiap orang. Ajak anak melakukan permainan dan tekankan bahwa menang bukan segala-galanya.

Keluarga dengan pendekatan menang-kalah akan menciptakan atmosfer yang kurang baik sehingga tidak terjadi relasi yang hangat di dalamnya. Padahal suasana keluarga yang akrab dan bersahabat merupakan salah satu faktor pencegah penyalahgunaan narkoba.

Kebiasaan kelima adalah berusaha terlebih dahulu untuk mengerti, baru kita akan dimengerti (seek firts to understand, then to be understood). Kebiasaan itu penting karena para anggota keluarga kadang-kadang tidak menyadari apa yang mereka lihat, pikir, atau dirasakan anggota yang lain. Persepsi memegang peranan penting di sini. Dalam interaksi orangtua-anak, perbedaan persepsi sering kali menimbulkan persoalan. Dalam beberapa kasus, berujung pada penggunaan narkoba.

Menurut Covey, kunci utama untuk bisa mengatasi perbedaan persepsi itu adalah kerelaan untuk mau memahami orang lain. Dengan tegas ia mengatakan, "When you understand, you don't judge." Lebih jauh, ia mengatakan daripada mengharapkan orang lain untuk memahami kita terlebih dahulu, lebih berguna jika kitalah yang terlebih dahulu coba memahami orang lain. Tingkah laku kunci di sini adalah dengan mengembangkan keterampilan mendengarkan dengan empati, Covey menyarankan kita untuk berperan sebagai penerjemah yang andal dalam proses komunikasi sehari-hari. Penerjemah yang andal akan mendengarkan setiap perkataan dengan sepenuh hati karena ia harus melakukan penerjemahan.

Covey mengajak kita untuk melakukan reflesi pada anggota keluarga kita. Apakah semua suara anggota keluarga sudah didengar? Apakah ada yang merasa tidak dipahami? Adakah yang merasa diperlakukan secara tidak adil? Dengan melakukan diskusi seperti itu, kita bisa membangun kebiasaan untuk memahami orang lain. Itu juga salah satu faktor pencegah penyalahgunaan narkoba. Remaja yang kurang merasa dipahami orangtuanya akan berpaling mencari tempat lain dan paling mudah adalah pada teman sepermainannya.

Disini, mereka  akan merasa lebih dipahami dan didengarkan. Pada beberapa kasus ekstrem, mereka bahkan rela mengikuti tekanan kelompok untuk tetap bisa berada di dalam kelompok yang mampu memahami mereka. Jika tekanan kelompok mengarah pada hal positif, kita akan sangat bersyukur, namun jika tekanan mengarah pada penyalahgunaan narkoba, ia perlu sangat waspada.

Kebiasaan keenam adalah sinergi (synergy). Beradasarkan kelebihan dan kekurangan setiap anggota keluarga, kita bisa membentuk sebuah kesatuan yang lebih kuat. Hal itu mirip dengan perumpamaan sapu lidi yang lebih kuat jika bersama-sama daripada batang lidi sendiri-sendiri. Dalam sinergi, tiap anggota keluarga meyakini perbedaan yang ada di antara anggota merupakan kekuatan dan bukan kelemahan. Sinergi bukan hanya kerja sama tim, melainkan sebuah kerja sama tim yang sangat kreatif. Hal-hal yang sebelumnya tidak terpikirkan menjadi ada dalam proses sinergi. Pernikahan sendiri sebenarnya sebuah perwujudan nyata dari sinergi. Orang tua yang tidak sejalan dalam mendidik anak bisa melemahkan sinergi dan hal itu rentan terhadap penyalahgunaan narkoba.

Membangun sinergi dalam keluarga dapat dilakukan melalui hal-hal kecil, seperti meminta anak-anak secara bersama-sama membuat poster keluarga, mencuci mobil bareng, dan membersihkan rumah pada waktu pembantu mudik.

Kebiasaan ketujuh diistilahkan dengan mengasah gergaji (sharpen the saw). Keluarga diharapkan melakukan hal-hal yang bisa membuat keenam kebiasaan tadi terus berlangsung. Janganlah kita seperti orang yang terus memotong pohon dengan gergaji tumpul dan mengatakan tidak ada waktu untuk mengasah gergajinya. Setiap keluarga disarankan untuk selalu melakukan pembaruan. Pembaruan, menurut Covey, sebaiknya dilakukan pada empat area yaitu fisik, sosial emosional, mental, dan spiritual. Misalnya saja dengan olah raga bareng, menentukan sasaran untuk aset finansial dan barang, saling memuji, bersantai bersama, belajar hal-hal baru bersama, saling berbagi cerita atau pengalaman unik, berdoa bersama, dan membuat komitmen baru.

Pola berulang dalam pembaruan bisa menjadi dasar terbentuknya tradisi keluarga. Tradisi keluarga merupakan sebuah cara yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan perasaan kompak, didukung, dan dipahami anggota keluarga yang lain.

Membangun keluarga seperti itu memang bukan perkara mudah, tapi sangat layak untuk dicoba. Tidak perlu 100% sama. Diharapkan, dengan mengembangkan kebiasaan-kebiasaan seperti itu, Anda sudah berperan dalam mencegah anggota keluarga kita terkena pengaruh buruk narkoba. Lebih baik cegah sekarang daripada menyesal kemudian.

(Penulis: P Bobby Hartanto MPsi Praktisi Quantum Learning dan Pemerhati Masalah Remaja/Media Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar