Senin, 17 Januari 2011

Komunikasi Tepat supaya Anak Bersikap Baik

Komunikasi Tepat supaya Anak Bersikap Baik


Kamis, 13/1/2011 | 20:58 WIB

KOMPAS.com — Jika Anda ingin si kecil bersikap dengan baik, perhatikan cara Anda mengomunikasikan keinginan Anda itu. Menurut pengarang How to Behave So Your Preschooler Will, Too!, Sal Severe PhD, komunikasi adalah faktor terpenting agar si kecil bisa belajar bersikap dengan baik. Cara Anda mengomunikasikan ekspektasi dan keinginan akan membuat banyak perbedaan.

Bayangkan diri Anda ada di posisi si kecil. Jika ia mendengar suara orangtuanya mengatakan sesuatu dengan nada melengking atau tidak menyenangkan, apakah pesan yang disampaikan bisa dimengerti? Tentu sulit untuk dicerna. Tetapi kadang, dengan nada lembut pun si kecil seakan tidak mau mengerti. Bagaimana cara berkomunikasi yang efektif dengan anak? Dr Severe menyarankan beberapa langkah, antara lain:

Nada positif
Katakan pada si kecil apa yang Anda ingin ia lakukan ketimbang apa yang Anda tak ingin ia lakukan. Misal, "Tolong keringkan air mata kamu," ketimbang, "Jangan cengeng!" atau "Berhenti nangis!" Contoh lainnya, ketimbang mengatakan, "Berhenti mengeluh", katakan, "Mintanya dengan nada sopan, dong." Saat anak Anda mengikuti instruksi Anda, berikan pujian. Ingat untuk memuji sikapnya, bukan anak secara keseluruhan. Jika Anda mengatakan, "Kamu anak yang baik saat kamu main manis sama adik kamu," pesan yang ditangkap anak adalah ia bukan anak baik kalau tidak main manis dengan adiknya. Alih-alih, katakan, "Mama bangga dengan cara kamu berbagi sama adik kamu. Pilihan kamu bagus, Nak."

Rencanakan sikap bagus
Anak-anak perlu tahu ekspektasi yang Anda harapkan darinya sejak dini. Biarkan ia tahu ke mana Anda dan ia akan pergi, apa aturannya, dan apa yang akan terjadi jika ia bersikap baik atau nakal. Jika ia tahu keadaan apa yang akan ia hadapi, ia akan jauh lebih baik dalam mengikuti instruksi Anda.

Jangan lupa untuk membawa tas aktivitas untuk si kecil jika Anda berencana pergi jauh, ke restoran, atau tempat lainnya yang membutuhkan si kecil untuk banyak duduk. Jika Anda membawa mainan atau hal lain yang membuat si kecil sibuk, Anda akan menghindari banyak problem potensial. Menurut dr Severe, barang-barang yang dibawa akan lebih efektif jika barangnya masih baru untuk anak. Jika Anda sempat, berbelanjalah mainan atau buku anak dalam jumlah banyak, dan simpan. Keluarkan satu per satu jika Anda ingin si kecil tenang.

Pesan positif
Anak-anak percaya apa pun yang dikatakan oleh orangtua mereka. Jika Anda mengatakan bahwa si kecil susah belajar mendengarkan, ia akan berlaku seperti itu. Jika Anda katakan bahwa Anda yakin ia bisa belajar mendengarkan dan patuh sama apa kata mama, ia akan berusaha membuktikan Anda benar. Tanamkan ide dalam dirinya bahwa ia bisa melakukan apa yang Anda minta. Mereka akan belajar untuk memenuhi permintaan Anda.

Berikan pujian atas hal-hal bagus yang ia lakukan. Semakin banyak Anda mendorong ia melakukan sikap yang baik, makin ia ingin membuat Anda bangga. Kebanyakan anak ingin melakukan hal-hal yang benar setiap saat. Fokuskan pada hal-hal yang positif dan Anda akan melihat tingkah positif itu lebih sering.

Contohkan
Setiap orangtua pasti ingin anaknya patuh sejak pertama diminta. Tetapi banyak pula orangtua yang mengatakan "Nanti dulu," atau, "Sebentar" atau mendengar si anak bicara tetapi tidak seksama? Jika Anda ingin si kecil menjadi pendengar yang baik, maka contohkan bagaimana menjadi pendengar yang baik. Anda harus mencontohkan hal-hal semacam ini. Sebisa mungkin, setiap kali anak Anda mengajak bicara, berhenti melakukan apa yang sedang Anda lakukan, buat kontak mata dengan si kecil, dan dengarkan sungguh-sungguh apa yang ia katakan. Tak hanya ia akan berlaku sama kepada Anda, hal ini juga akan membangun kepercayaan dirinya, dan membuatnya merasa dihargai.

Putar kembali
 Akan membantu untuk Anda belajar mengerti jika Anda memintanya mengatakan kembali apa yang Anda ingin ia lakukan. Contoh, "Kita mau main ke tempat Tante Rina, di sana kamu boleh main di taman belakangnya sama Bella. Tapi, kita cuma setengah jam saja di sana. Kalau Mama panggil kamu untuk pulang, kamu datangi mama, dan kita siap-siap pulang ya? Nah, coba kamu ulangi apa yang mama bilang tadi." Ia akan mencoba mengulang instruksi Anda. Ini akan memastikan si kecil mengerti apa yang diharapkan dari dia.

Harapan yang realistis
 Ingat, anak Anda adalah anak-anak. Anak balita atau usia prasekolah butuh banyak waktu Anda untuk diperhatikan. Ingat juga bahwa perubahan akan memakan waktu. Tetap positif dan konsisten dan Anda akan melihat perubahan pada sikap anak.

Belajar untuk berkomunikasi secara efektif dengan si kecil adalah hal krusial untuk meminta si anak melakukan apa yang Anda inginkan. Dengan kesabaran dan praktik, komunikasi Anda akan membaik, begitu pun sikap si anak.

Editor: Nadia Felicia
Sumber: babyzone

Kesehatan Mental Anak

Kesehatan Mental Anak

Peran keluarga sangat penting dalam upaya mengembangkan kesehatan mental anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun sosial budaya, yang diberikannya merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat.

Syamsu Yusuf (Dosen UPI) dalam artikelnya yang berjudul ”Mengembangkan Kesehatan Mental Berbasis Keluarga” menyatakan bahwa agama memberikan petunjuk tentang tugas dan fungsi orang tua dalam merawat dan mendidik anak, agar dalam hidupnya berada dalam jalan yang benar, sehingga terhindar dari malapetaka kehidupan, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak (kandungan al Quran, Surat at Tahrim:6). Rasulullah Saw. dalam salah satu hadisnya bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tauhiidulllah), karena orang tuanyalah anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (H.R. Bukhari & Muslim, dalam Panitia Mudzakarah Ulama, 1988).

Berkenaan dengan peran keluarga (orang tua) dalam mendidik anak, Imam al Ghazali dalam Kitab Ikhtisar Ihyau Ulumuddin terjemahan Mochtar Rasjidi dan Mochtar Jahja (1966:189) mengemukakan bahwa anak merupakan amanat bagi orang tuanya, dia masih suci laksana permata, baik atau buruknya perkembangan anak, amat bergantung kepada baik atau buruknya pembiasaan yang diberikan kepadanya.

Keluarga merupakan aset yang sangat penting, individu tidak bisa hidup sendirian, tanpa ada ikatan-ikatan dengan keluarga. Begitu menurut fitrahnya, menurut budayanya, dan begitulah perintah Allah SWT. Keluarga memberikan pengaruh yang besar terhadap seluruh anggotanya sebab selalu terjadi interaksi yang paling bermakna, paling berkenan dengan nilai yang sangat mendasar dan sangat intim (Djawad Dahlan, dalam Jalaluddin Rahmat dan Muhtar Gandaatmaja, 1994:49).

Keluarga mempunyai peranan penting karena dipandang sebagai sumber pertama dalam proses sosialisasi (Uichol Kim & John W. Berry). Keluarga juga berfungsi sebagai transmitter budaya, atau mediator sosial budaya anak (Hurlock, 1956; dan Pervin, 1970).

Keluarga juga dipandang sebagai instansi (lembaga) yang dapat memenuhi kebutuhan insani (manusiawi), terutama kebutuhan bagi pengembangan kepribadiannya, dan pengembangan ras manusia. Jika mengaitkan peranan keluarga dengan upaya memenuhi kebutuhan individu, keluarga merupakan lembaga pertama yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Melalui perawatan, dan perlakuan yang baik dari orang tua, anak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, baik fisik-bilogis, maupun sosiopsikologisnya.

Keluarga yang bahagia merupakan suatu hal yang sangat penting bagi perkembangan emosi para anggotanya (terutama anak). Kebahagiaan itu diperoleh apabila keluarga dapat memerankan fungsinya secara baik. Fungsi dasar keluarga adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang; dan mengembangkan hubungan yang baik di antara anggota keluarga. Hubungan cinta kasih dalam keluarga tidak sebatas perasaan, akan tetapi juga menyangkut pemeliharaan, rasa tanggung jawab, perhatian, pemahaman, respek, dan keinginan untuk menumbuhkembangkan anak yang dicintainya.

Keluarga yang hubungan antaranggotanya tidak harmonis, penuh konflik, atau gap communication, dapat mengembangkan masalah-masalah kesehatan mental (mental illness) bagi anak.

Fungsi keluarga
Mengkaji lebih jauh tentang fungsi keluarga ini, dapat dikemukakan bahwa secara sosiopsikologis, keluarga berfungsi sebagai:
(1) pemberi rasa aman bagi anak dan anggota keluarga lainnya;
(2) Sumber pemenuhan kebutuhan, baik fisik maupun psikis;
(3) Sumber kasih sayang dan penerimaan;
(4) Model pola perilaku yang tepat bagi anak untuk belajar menjadi anggota masyarakat yang baik;
(5) Pemberi bimbingan bagi pengembangan perilaku yang secara sosial dianggap tepat;
(6) Pembantu anak dalam memecahkan masalah yang dihadapinya dalam rangka menyesuaikan dirinya terhadap kehidupan;
(7) Pemberi bimbingan dalam belajar keterampilan, motor, verbal, dan sosial yang dibutuhkan untuk penyesuaian diri;
(8) Stimulator bagi pengembangan kemampuan anak untuk mencapai prestasi, baik di sekolah maupun di masyarakat;
(9) Pembimbing dalam mengembangkan aspirasi;
Dan (10) sumber persahabatan (teman bermain) anak, sampai cukup usia untuk mendapatkan teman di luar rumah, atau apabila persahabatan di luar rumah tidak memungkinkan.

Sedangkan dari sudut pandang sosiologis, fungsi keluarga itu dapat diklasifikasikan ke dalam fungsi-fungsi biologis, ekonomis, edukasi, sosialisasi, pro­teksi, rekreasi, dan religius (M.I. Soelaeman, 1978; Sudardja Adiwikarta, 1988; dan Melly S.S. Rifai, dalam Jalaluddin Rahmat dan Muhtar G., 1994).

Pengokohan penerapan nilai-nilai agama dalam keluarga merupakan landasan fundamental bagi perkembangan kondisi atau tatanan masyarakat yang damai dan sejahtera. Namun sebaliknya, apabila terjadi pengikisan atau erosi nilai-nilai agama dalam keluarga, atau juga dalam masyarakat, maka akan timbul malapetaka kehidupan yang dapat menjungkirbalikkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini seperti diungkapkan oleh mantan Menteri Agama, Tarmizi Taher dalam ceramahnya yang berjudul Peace, Prosperity, & Religious Harmony in The 21 Century: Indonesian Muslim Perspectives (Perdamaian, Kesejahteraan, dan Kerukunan Ummat Beragama di Abad ke-21: Perspektif Seorang Muslim Indonesia) di Georgetown AS, “Akibat disingkirkannya nilai agama dalam kehidupan modern, kita menyaksikan semakin meluasnya kepincangan sosial, seperti merebaknya kemiskinan, dan gelandangan di kota-kota besar; mewabahnya pornografi dan prostitusi, HIV, dan AIDS; meratanya penyalahgunaan obat bius, kejahatan terorganisasi, pecahnya rumah tangga hingga mencapai 67% di negara-negara modern; kematian ribuan orang karena kelaparan di Afrika dan Asia di tengah melimpahnya barang konsumsi di bagian belahan dunia utara.”

Untuk menciptakan keluarga sebagai lingkungan yang kondusif bagi perkembangan mental yang sehat, suasana sosiopsikologis keluarga yang bahagia, khususnya perkembangan karakteristik pribadi anak yang saleh, agama Islam telah memberikan petunjuk atau rambu-rambu, yang di antaranya adalah sebagai berikut.
(1) Bangunlah keluarga itu dengan melalui pernikahan yang sah berdasarkan syariat atau ketentuan agama.
(2) Pernikahan itu hendaknya didasarkan kepada niat beribadah kepada Allah karena menikah adalah sunah Rasulullaah saw. (Annikaahu sunnatii famanlamyargobu ‘an sunnatii falaisa minnii = nikah adalah sunahku, barang siapa yang membenci nikah berarti dia bukan umatku). Dengan demikian, suami dan istri, atau orang tua dan anak adalah mitra dalam beribadah kepada Allah.
(3) Pada saat berhubungan suami-istri (jima’ atau bersenggama), berdoalah kepada Allah agar diberi anak yang terhindar dari godaan setan. Doa yang diajarkan Rasulullah adalah Bismillaahirrahmaanirrahiim, Allahumma jannibnasysyaithana, wajannibisysyaithana mimmaa razaqtanaa (dengan nama Allah, ya Allah jauhkan kami dari setan, dan jauhkanlah setan dari rezeki/anak yang Engkau berikan kepada kami).
(4) Perbanyaklah doa, Robbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyyatinaa qurrota ‘ayun waj’alnaa lilmuttaqiina imaamaa (Ya Allah Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami dari pasangan-pasangan kami (suami/istri) dan keturunan kami yang membahagiakan mata hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa). Doa lain yang sebaiknya di-dawam-kan dalam rangka memohon anak yang saleh adalah Rabbii hablii minashshaalihiin (Ya Tuhanku anugerahkanlah kepadaku anak-anak yang saleh).
(5) Pada saat istri mengandung, hendaknya melakukan beberapa amalan ibadah,
(a) membaca Alquran (selama sembilan bulan mengandung, bacalah Alquran dari mulai surat Al-Fatihah s.d. surat Annaas, jangan hanya membaca surat-surat tertentu saja);
(b) melaksanakan salat tahajud, dan memperbanyak doa setelahnya;
(c) memperbanyak sedekah atau infak;
dan (d) memperbanyak zikir kepada Allah, atau membaca kalimah tayyibah, seperti tasbih (subhaanallaah), tahmid (alhamdulillaah), takbir (Allaahu akbar), dan tahlil (laa ilaaha illallaah). Yang melakukan amalan ini bukan hanya istri, tetapi juga suami.
(6) Menciptakan pola pergaulan yang ma’ruf (baik atau harmonis) antara suami-sitri, atau orang tua-anak.
(7) Pada saat anak lahir, ucapkanlah kalimah tayyibah (minimal membaca tahmid); ada juga yang menyarankan untuk mengumandangkan (dengan suara yang lembut) azan pada telinga kanan anak dan iqomat pada telinga kirinya.
(8) Pada saat anak sudah berusia tujuh hari, lakukan akekah bagi anak, yaitu menyembelih kambing/domba jantan (bagi anak laki-laki dua ekor, dan bagi anak perempuan satu ekor), mencukur rambut anak (rambut ini ditimbang seperti menimbang emas, hasilnya dihargai dengan harga emas, kemudian uangnya dibagikan kepada fakir miskin atau yatim piatu); dan memberi nama yang baik kepada anak (nama adalah doa). Pada acara ini undanglah keluarga, kerabat, atau tetangga dekat untuk bersama-sama mensyukuri nikmat dari Allah.
(9) Pada saat anak sudah masuk usia taman kanak-kanak, didiklah mereka (melalui pengajaran, keteladanan, dan pembiasaan) tentang berbagai aspek kehidupan yang penting bagi perkembangan kepribadiannya yang mantap, seperti:
(a) mengajar rukun iman dan rukun Islam, mengajar dan membiasakan ibadah salat, memberikan contoh dalam membayar zakat atau infak, mengajar membaca Alquran, dan doa-doa;
(b) melatih dan memberi contoh tentang cara merawat kebersihan dan kesehatan diri dan lingkungan, mandi, gosok gigi, makan dan minum yang teratur, membuang sampah pada tempatnya, memelihara kebersihan dan kerapihan rumah;
(c) memberi contoh tentang bertutur kata yang sopan (sesuai dengan bahasa ibunya);
dan (d) mengajar dan memberi contoh, teladan tentang tata krama (etika) bergaul dengan orang lain.
(10) Bersikap tabah atau bersabar pada saat menghadapi masalah atau persoalan, karena dalam mengarungi kehidupan berkeluarga tidak steril atau tidak lepas dari masalah tersebut. Masalah-masalah yang mungkin dihadapi itu di antaranya sebagai berikut.
(a) Adanya perbedaan kebiasaan, keinginan, dan sikap-sikap antara suami dan istri. Apabila suami dan istri kurang memiliki sikap saling memahami dan menerima, maka hal tersebut dapat menjadi faktor pemicu pertengkaran atau perselisihan, sehingga iklim kehidupan keluarga dirasakan tidak harmonis (Sunda, awet rajet).
(b) Penghasilan suami yang kurang mencukupi kebutuhan keluarga.
(c) Minimnya biaya pendidikan dan kesehatan bagi anak.
(d) Penyakit salah seorang anggota keluarga yang tidak sembuh-sembuh dan memerlukan perawatan yang cukup mahal.
(e) Anak berperilaku nakal. (Sunda, baong, bedegong, basangkal).
(f) Terjadinya perceraian yang dapat menyebabkan dampak yang kurang baik terhadap kehidupan keluarga, terutama terhadap nasib masa depan anak.
(g) Suami atau istri berselingkuh (berzina), atau mengonsumsi narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba).
(h) Adanya sikap saling mendominasi antara suami dan istri.
(i) Salah seorang anggota keluarga mengalami gangguan/sakit jiwa.
(j) Suami-istri atau orang tua kurang memperhatikan pengamalan nilai-nilai agama di lingkungan keluarga.

Kesehatan mental
Terdapat banyak unsur keluarga yang berpengaruh terhadap perkembangan kesehatan mental anak. Keluarga memiliki pengaruh yang sangat berarti terhadap perkembangan kepribadian atau kesehatan mental anak (remaja). Unsur-unsur keluarga yang dipandang berpengaruh itu adalah menyangkut keberfungsian, dan perlakuan keluarga.
1. Keberfungsian keluarga. Seiring dengan perjalanan hidupnya yang diwarnai oleh faktor internal (kondisi fisik, psikis, dan moralitas para anggota keluarga), dan faktor eksternal (perubahan sosial budaya), maka masng-masing keluarga mengalami perubahan yang beragam. Ada keluarga yang semakin kokoh dalam menerapkan fungsinya (fungsional-normal), namun ada juga keluarga yang mengalami keretakan atau ketidakharmonisan (disfungsional-tidak normal).
2. Pola hubungan orang tua-anak (Sikap atau perlakuan orang tua terha­dap anak). Weiten dan Lioyd (1994:361) mengemukakan lima prinsip effective parenting, yaitu sebagai berikut.
(a) Menyusun standar (aturan perilaku) yang tinggi, namun dapat dipahami. Dalam hal ini anak diharapkan untuk berperilaku dengan cara yang tepat sesuai dengan usianya.
(b) Menaruh perhatian terhadap perilaku anak yang baik dan memberikan reward (ganjaran). Perlakuan ini perlu dilakukan sebagai pengganti dari kebiasaan orang tua pada umumnya, yaitu bahwa mereka suka menaruh perhatian kepada anak pada saat anak berperilaku menyimpang, namun membiarkannya ketika melakukan yang baik.
(c) Menjelaskan alasannya (tujuannya), ketika meminta anak untuk mengerjakan sesuatu.
(d) Mendorong anak untuk menelaah dampak perilakunya terhadap orang lain.
(e) Menegakkan aturan secara konsisten.

Pada uraian berikut dikemukakan beberapa hasil penelitian tentang pengaruh lingkungan keluarga terhadap kesehatan mental remaja.
(a) Robinson, Sheldon, dan Glueck (M. Arifin, 1978:130) mengemukakan ha­sil penelitiannya, yaitu bahwa delinquency menjadi gejala yang sangat penting dari keluarga yang retak (breakdown), yaitu yang mengalami disintegrasi, tekanan emosional, dan kematian orang tua atau cerai.
(b) Peck (Loree, 1970:144) telah meneliti tentang hubungan antara karakteristik emosional dan pola perlakuan keluarga dengan elemen-elemen struktur kepribadian remaja. ***

Kembali ke Kotak Pasir

Kembali ke Kotak Pasir

Oleh: Sawitri Supardi Sadarjoen (Psikolog)

Saya mendengar cerita tentang anak-anak yang bermain pasir dalam kotak. Ada dua anak yang masing-masing membawa ember kecil dan sendok kecil bermain bersama. Salah seorang anak berteriak, menangis, dan lari keluar kotak.

“Saya benci kamu. Saya tidak mau main lagi dengan kamu. Kamu nakal.”

Namun, beberapa menit kemudian anak yang lari keluar kotak tersebut kembali ke kotak dan dengan tenangnya berbaikan dan asyik bermain berdua kembali.

Dekat dengan anak-anak yang sedang bermain tersebut, duduk dua orang dewasa. Yang satu mengatakan, “Apakah kau memerhatikan kedua anak tersebut?” Katanya dengan air muka menunjukkan kekaguman.
“Bagaimana bisa, ya, anak-anak seperti itu. Mereka adalah dua anak yang bermusuhan 5 menit lalu,” jawab orang dewasa yang lain.

“Sebenarnya sederhana. Anak-anak memilih kebahagiaan daripada memikirkan berlama-lama, apakah temannya melakukan tindakan benar atau salah,” demikian jawab temannya.

Kehidupan Dewasa
Orang dewasa memiliki kesulitan luar biasa untuk lepas dari perasaan marah, kepahitan, dan terluka. Walaupun sebenarnya kita semua tahu bahwa hidup sangat singkat, tetapi kita tidak memedulikannya dan kita tidak mungkin memilih kembali ke kotak pasir dalam waktu yang singkat, sampai akhirnya salah satu dari pasangan yang bertikai mau memulai dan mengakui kesalahannya.

Ternyata kebutuhan orang dewasa untuk menyeimbangkan posisi dalam kebersamaan dengan orang lain begitu kuat dan hal itu justru membuat kita terpaku oleh perasaan negatif, padahal perasaan negatif tersebut harus dibayar dengan mengorbankan kebahagiaan dan kenyamanan perasaan kita sendiri.

Pada dasarnya begitu banyak penderitaan yang dapat kita hindari apabila kita dapat meniru perilaku kedua anak tersebut. Kita dapat bangkit, bersinar kembali, dan membiarkan banyak hal berlalu.

“Saya kembali tenang dan nyaman saat suami saya mengetok kamar kerja saya di rumah. Ia memeluk saya sambil mengatakan, saya sayang sama kamu, di tengah pertengkaran sengit di antara kita. Suami kemudian berkata, `Sudahlah, apa yang kita pertengkarkan sebenarnya suatu hal yang tidak penting, lebih baik kita lupakan saja.`”

“Seperti kedua anak dalam kotak pasir tersebut, kita kembali melakukan hal-hal yang menyenangkan…,” demikian Harriet L. (2001).

Tentu saja, kehidupan dewasa tidak selalu sesederhana itu. Beberapa masalah perlu ditinjau ulang, dan tidak dibiarkan begitu saja, tetapi dibutuhkan waktu untuk berproses melalui diskusi/bicara bersama. Kita membutuhkan kata-kata untuk mulai menyembuhkan perasaan sakit hati oleh pengkhianatan, ketidaksamaan persepsi tentang sesuatu hal dan relasi yang rusak olehnya.

Kebutuhan kita akan bahasa, percakapan, dan definisi tetap melandasi keinginan kita agar segala sesuatu berdiri tegak di atas kebenaran. Melalui kata-kata, kita dapat memahami orang lain dan kita pun dipahami orang lain. Pengetahuan akan diri masing-masing ada dalam hati kita yang paling dalam demi keintiman relasi dengan orang lain.

Bagaimana relasi dijalin dengan orang yang paling bermakna dalam kehidupan kita tergantung dari keberanian dan kejelasan dalam menemukan suara hati kita sendiri. Begitu pula halnya dengan seberapa besar kemungkinan kita mampu menangkap relasi kita dengan diri kita sendiri. Bahkan, saat kita merasa tidak didengar sekalipun, kita mungkin masih tetap butuh untuk memahami suara hati kita sendiri yang mengatakan dengan keras, apa yang sebenarnya kita pikirkan dan kita rasakan.

Suara hati
Tantangan kita sebagai orang dewasa adalah mengembangkan suara hati kita yang kuat tentang keunikan diri kita sendiri, suara yang merefleksikan nilai-nilai dan pendirian kita. Serentak kita nyaman dengan suara kita sendiri, kita dapat membawanya ke dalam relasi yang paling bermakna bagi diri kita. Kita dapat memilih untuk pindah ke pusat percakapan yang sulit atau kita dapat melanjutkan saja relasi yang sudah terjalin.

Kita dapat berbicara dan menentukan kapan sebaiknya kita berhenti bicara. Apa pun yang kita pilih, sebenarnya sebagai orang dewasa kita pun dapat kembali ke kotak pasir dengan kejelasan, kebijaksanaan, dan tujuan yang telah kita tentukan.

Dengan demikian, kita dapat menguatkan SELF (diri) dan hubungan kita dengan orang lain serta mendapat kesempatan terbaik untuk meraih kebahagiaan, dalam kebersamaan kita dengan siapa pun yang bermakna bagi kita.

Pelatihan asertif, pelatihan komunikasi, bahkan semedi di puncak gunung yang sepi atau kontemplasi diri dalam kesunyian adalah tidak cukup karena apa pun yang kita jalani, tidak mencegah kemungkinan kita untuk tersulut rasa marah dan frustasi. Yang terpenting adalah meraih suara hati otentik melalui relasi yang intim dengan orang lain. Otentisitas suara hati kita membuat kita mampu menempatkan posisi diri dan orang lain secara pas dan tepat. Memiliki suara hati yang otentik, menurut Harriet L, berarti,
-          Kita dapat secara terbuka berbagi kompetensi, masalah, dan kepekaan kita, kita dapat meredam kemarahan dan membuat situasi tenang kembali.
-          Kita dapat menyatakan pikiran dan perasaan dan memberi kesempatan kepada orang lain melakukan hak yang sama.
-          Kita dapat mendefinisikan nilai, keyakinan, prinsip hidup yang kita anut, dan bersikap sesuai dengan definisi tersebut.
-          Kita dapat mendefinisikan apa yang kita rasakan dalam relasi yang terjalin dan menjelaskan batas-batas toleransi dalam menerima perilaku orang lain.
-          Kita dapat pergi, tentu saja apabila perlu.

Nah, timbul pertanyaan, jelaskah posisi kita dalam kebersamaan kita dengan orang yang bermakna bagi diri kita?

Gigi dan Daya Ingat


Gigi dan Daya Ingat

PELIHARALAH gigi anda sebaik mungkin. Para ilmuwan Jepang di Laboratorium Neurologis Nasional di AS menghasilkan sebuah penemuan yang patut diperhatikan.

Hasil penelitian menunjukkan tanggalnya gigi manusia di usia dini membuat manusia itu mengalami risiko kehilangan daya ingat di usia dewasa awal.

Sebanyak 4.000 peserta berusia mulai 65 tahun ke atas menjalani tes kesehatan gigi, latihan psikis, dan daya ingat. Para partisipan yang masih memiliki beberapa gigi asli memiliki daya ingat yang lebih baik jika dibandingan dengan para partisipan yang tidak lagi memiliki gigi asli.

“Infeksi di gusi dapat memicu tanggalnya gigi berpotensi melepaskan zat inflamasi, yang menyebabkan neuronal tidak berfungsi dan kehilangan daya ingat,” jelas Nozomi Okamoto, ketua penelitian. (Healthday/*/X-6).  (Dari Media Indonesia, Kamis, 6 Januari 2011). (Ditulis kembali oleh: Mohamad Istihori)

Cinta Sejati Punya Bahasa Yang Sama


Cinta Sejati Punya Bahasa Yang Sama

Kamis, 13 Januari 2011 | 15:58 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Kapan Anda tahu Anda sudah menemukan cinta sejati? Pada pandangan pertama? Saat merasa ada kesamaan minat? Apapun jawaban Anda, sebuah hasil penelitian terbaru menyebut, sebenarnya gaya berbicara yang samalah yang jadi kunci apakah sebuah hubungan bisa berlanjut.

Para ahli yang meneliti masalah ini menyebut, penggunaan kata-kata untuk menyebut personal seperti saya, dia dan mereka, kata preposisi seperti di atas dan di bawah, kata sifat seperti sangat atau agak adalah kata-kata yang banyak orang tak terlalu memikirkan, tapi ternyata kesamaan penggunaan jenis kata-kata tersebutlah yang jadi patokan apakah pasangan akan terus melanjutkan hubungan atau tidak. 

James Pennebaker, ketua jurusan psikologi di University of Texas di Austin mengevaluasi gaya bicara 40 pria dan 40 wanita yang sedang berkencan. Hasilnya semakin mereka punya banyak kesamaan dalam gaya bicara, semakin cocok mereka dengan pasangan mereka. Pennebaker mengamati, hal itu terjadi karena orang umumnya cenderung untuk lebih dekat dengan orang yang punya gaya bicara yang sama.

"Anda akan empat kali lebih cocok dan mungkin akan memilih untuk melanjutkan hubungan dengan orang yang punya gaya berbahasa yang sama," kata Pennebaker.

Dalam penelitian kedua, tim Pennebaker meneliti gaya berbahasa 86 pasangan, lewat pesan singkat mereka. Pennebaker menemukan, pasangan semakin serasi pada mereka yang punya gaya menulis pesan singkat yang sama pula. Padahal rata-rata partisipan yang berusia 19 tahun itu, berasal dari kota yang berbeda-beda.

"Mereka yang punya gaya bahasa mengirim pesan yang sama 50 persen lebih besar kemungkinannya melanjutkan kencan ke tahap yang lebih lanjut," kata Pennebaker tentang penelitiannya yang dipublikasikan di jurnal online Psychological Science itu.

Quantum Motivation


QUM (QUantum Motivation):
1.       Berpura-pura menjadi kaya hanya akan membuatmu lebih miskin.

2.       Semua meraih hasil sesuai usahanya, tapi seizin Allah. Izin bukan tanda cinta. Karena itu yang tidak beriman dapat berhasil. Raihlah cinta-Nya dengan syukur. Gunakan nikmat sesuai tuntunan-Nya. (merujuk QS. 3: 145).

3.       Tuhan menciptakan mata di depan, karenanya kita harus senantiasa memandang masa depan.

4.       Tuhan menciptakan dua mata, dua telinga, dan satu mulut. Itu artinya, kita harus lebih banyak memperhatikan, mendengarkan, daripada berbicara. (Plato)

5.      Pada saat orang yang kau cintai menyakitimu, kau akan berkata: "Tak apa, dia hanya tak tau apa yang dilakukannya.

6.       Orang yang terpaku pada perasaan negatifnya, harus membayar mahal dengan mengorbankan kebahagiaan dan kenyamanan perasaannya sendiri.

7.       Kita membutuhkan kata-kata untuk mulai menyembuhkan perasaan sakit hati oleh pengkhianatan, ketidaksamaan persepsi tentang sesuatu hal, dan relasi yang rusak olehnya. (Sawitri Supardi Sadarjoen, Psikolog)

8.      Bagaimana relasi dijalin dengan orang yang paling bermakna dalam kehidupan kita tergantung dari keberanian dan kejelasan dalam menemukan suara hati kita sendiri. (Sawitri Supardi Sadarjoen, Psikolog)

9.      Tantangan kita sebagai orang dewasa adalah mengembangkan suara hati kita yang kuat tentang keunikan diri kita sendiri, suara yang merefleksikan nilai-nilai dan pendirian kita. (Sawitri Supardi Sadarjoen, Psikolog)