Kompas, Minggu, 29 Agustus 2010
Kasih Sayang untuk Penderita Skizofrenia
Oleh: Budi Suwarna
Setelah  10 tahun, Bagus Utomo (37) baru menyadari bahwa kakaknya, Bayu,  menderita skizofrenia atau gangguan jiwa berat. Mengapa begitu lama?
Tahun  1995, Bayu mulai memperlihatkan perilaku aneh. Bayu yang ketika itu  berusia 30 tahun kerap mengamuk hebat. "Kami membawanya berobat dan  dokter (jiwa) hanya memberikan obat tanpa pernah menjelaskan penyakit  yang diderita kakak saya," ujar Bagus.
Setelah minum obat,  keadaan Bayu membaik. Namun, kapan saja, perilaku anehnya bisa kambuh.  Dia tidak lagi hanya mengamuk, tetapi juga memaki ayahnya, memusuhi  semua orang, dan berteriak histeris sepanjang malam. Perilaku itu  berulang selama 10 tahun. "Selama itu pula kami tidak bisa tidur dan  selalu tegang. Keluarga kamu bagai dalam neraka." cerita Bagus, Kamis  (26/8).
Ketika keluarga mulai putus asa, Bagus mencari  setiap informasi mengenai perilaku aneh seperti yang ditunjukkan  kakaknya. Tahun 1998, dia menemukan sebuah situs di internet mengenai  skizofrenia. Dari situ, Bagus tahu kakaknya memenuhi ciri-ciri  skizofrenia, yakni mengalami halusinasi, waham, dan berperilaku aneh.
Tunggal  (36) bahkan baru menyadari kalau kakaknya, Dwi Putro, biasa disapa Pak  Wi, menderita skizofrenia setelah 17 tahun. "Kami hanya tahu Pak Wi dulu  suka mengamuk dan keluyuran berhari-hari. Itu terjadi beberapa kali  sejak tahun 1983. Kami baru tahu Pak Wi mengalami skizofrenia tahun  2000-an," tutur Tunggal.
Karena tidak tahu, lanjut  Tunggal, kedua orangtuanya salah memperlakukan Dwi. "Orangtua saya  melarang Pak Wi pergi dan mandi sambil menghambur-hamburkan air.  Akibatnya, Pak Wi makin tertekan."
Sari (36) juga ingat  bagaimana keluarga besarnya kebingungan menangani Wibi (54), sepupunya,  ketika sering mengamuk sejak usia 21 tahun. "Keluarga mengira Wibi kena  santet, makanya dia kami bawa ke pesantren atau orang pintar. Karena  tidak ada hasilnya, baru kami bawa ke dokter. Dari situ, kami baru tahu  kalau Wibi mengidap skizofrenia." ujar Sari.
Carla R  Marchira, psikiater di Fakultas Kedokteran UGM dan RSUP Dr Sardjito,  Yogyakarta, mengatakan, pemahaman soal skizofrenia di kalangan  masyarakat relatif rendah. "Kalau ada orang yang tiba-tiba berperilaku  aneh, pasti disangka kena santet. Padahal, boleh jadi itu gejala  gangguan jiwa," katanya.
Selain itu, keluarga umumnya  menyangkal jika salah satu anggotanya mengalami gangguan jiwa karena  takut kena stigma. Akibatnya, penderita terlambat ditangani dokter.  Padahal, lanjut Carla, semakin cepat ditangani, semakin besar  kemungkinan penderita bisa pulih.
Menurut standar  Indonesia, orang dianggap menderita skizofrenia jika selama satu bulan  mengalami gejala psikotik, seperti halusinasi dan mengalami waham.  Halusinasi adalah kekacauan persepsi panca-indera penderita, misalnya,  mendengar bisikan-bisikan aneh yang sebenarnya tidak ada. Waham adalah  kondisi ketika pikiran penderita tidak realistis. Dia, misalnya, merasa  dikejar-kejar pocong atau CIA.
"Kita harus paham bahwa  halusinasi dan waham itu berat. Bayangkan kalau setiap saat Anda merasa  dikejar-kejar pocong, pasti Anda teriak-teriak ketakutan," katanya.
Untuk  mengatasi gejala psikotik itu, dokter biasanya memberikan obat  antipsikotik. Pengobatan berlangsung lama, bahkan sebagian penderita  harus minum obat sepanjang hidupnya.
Menata Keluarga
Sejak  mengetahui kakaknya menderita skizofrenia, Bagus tahu bagaimana  menangani kakaknya. Bagus dan keluarganya meneruskan pengobatan Bayu.  "Alhamdulillah, kondisinya sekarang sudah pulih 90 persen. Dia sudah  sadar apa yang terjadi pada dirinya dan rajin minum obat," katanya.
Seiring  dengan itu, lanjut Bagus, situasi tegang di keluarganya segera mencair.  "Kami sekeluarga bisa menata kembali hidup kami. Itu penting sebab  selama 10 tahun kami tegang terus," kata anak keenam dari delapan  bersaudara ini.
Hal yang sama dilakukan  Tunggal. Dia berusaha memperlihatkan kasih sayang dan perhatiannya  kepada Pak  Wi. "Tahun 2007, kami sadar Pak Wi suka melukis karena dia  suka mencoret-coret tembok tetangga. Kami pun menyediakan alat lunak,  seperti kertas, kanvas, papan, spidol, dan cat minyak."
Pak  Wi pun tenggelam dalam keasyikan melukis. Dia bisa menggambar  terus-menerus dari pagi sampai malam. Tidak heran, dalam setahun, dia  bisa menghasilkan 1.000-an lukisan. "Kalau dia melukis, saya selalu  mengacungkan jempol dan berkata, 'bagus'," kata Tunggal.
Sejak melukis, Pak  Wi tidak pernah mengamuk dan keluyuran lagi. "Saya senang melihat perkembangannya," ujar Tunggal.
Clara  berpendapat, keluarga memang memberikan aktivitas yang disenangi  penderita skizofrenia. Dengan begitu, emosi penderita skizofrenia bisa  tercurahkan pada kegiatan tersebut. Secara logis, kegiatan itu juga bisa  mengalihkan halusinasi dan waham yang sering menyerang penderita  skizofrenia.
"Jangan biarkan mereka sendirian, mengurung, bahkan merantai mereka. Itu membuat penderita tertekan dan stres." katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar