Senin, 28 Maret 2011

Riset: Senyum Palsu, Biang Keladi Depresi


Riset: Senyum Palsu, Biang Keladi Depresi

Selasa, 29 Maret 2011, 06:30 WIB
Indra Darmawan

VIVAnews - Bila tuntutan pekerjaan mengharuskan Anda untuk terus tersenyum, berhati-hatilah. Anda mungkin harus berpikir ulang sebelum mengobral senyum kepada orang lain, bahkan kepada pelanggan atau klien penting perusahaan Anda.

Sebagai salah satu bentuk kesopanan atau tuntutan kerja, seringkali kita berusaha untuk tersenyum kepada orang lain. Namun, berdasarkan sebuah penelitian, ternyata senyum yang dipaksakan malah justru tak baik untuk kejiwaan maupun etos kerja. 

Ini tentu saja berlawanan dengan maksud kebijakan banyak perusahaan. Biasanya, karyawan-karyawan perusahaan transportasi umum, pertokoan, bank-bank, serta bagian call center di setiap perusahaan, diwajibkan untuk selalu tersenyum kepada pelanggan mereka. 

"Perusahaan-perusahaan mungkin mengira dengan menyuruh karyawan mereka tersenyum, akan berakibat baik bagi organisasi mereka. Tapi tak selalu begitu," kata Brent Scott, pemimpin riset yang juga Asisten Profesor pada Michigan State University AS. 

Riset tersebut meneliti sekelompok pengemudi bus selama lebih dari dua pekan. Para peneliti mengamati efek dari penampakan senyum dengan kondisi emosi mereka. Hasil riset menunjukkan bahwa melempar senyum yang dibuat-buat alias senyum palsu, ternyata justru bisa membuat seseorang menjadi tertekan. 

Senyum palsu bisa memperburuk mood dan bahkan bisa membuat produktivitas kerja seseorang menyusut. Sementara itu, ketika seorang karyawan tersenyum karena gembira karena mendapatkan pikiran yang  positif--misalnya ketika mereka menghadapi hari libur--justru bisa meningkatkan mood dan membuat mereka lebih efisien dalam bekerja.

Situasi ini akan semakin membekas pada pekerja wanita. Ketika mereka tersenyum di saat merasakan emosi yang negatif, ini justru akan membahayakan kondisi emosional mereka. "Saat melakukan akting permukaan, wanita akan menerima efek yang lebih daripada pria. Emosi mereka bisa lebih buruk," kata Scott. 

Tapi, bila karyawan wanita itu bisa menghayati senyuman mereka saat bekerja, mood mereka memang bisa semakin meningkat dan mereka bisa menekan depresi yang mereka alami.

Diperkirakan, ini tak lepas dari intensitas emosional dan tingkat ekspresi yang lebih besar, yang dimiliki oleh wanita ketimbang pria. 

Walau demikian, Scott mengingatkan efek jangka panjangnya. Walaupun akting senyum yang lebih dihayati bisa meningkatkan mood dalam jangka pendek, tapi bila dilakukan dalam jangka waktu yang lebih lama, bisa membuat seseorang merasa tidak otentik.

"Mungkin Anda berusaha untuk menanamkan emosi positif pada diri Anda. Namun, pada akhirnya, Anda mungkin akan merasa bahwa itu bukan diri Anda lagi," ujar Scott. (SJ)

• VIVAnews

TV Mengurangi Ketrampilan Bahasa Anak


TV Mengurangi Ketrampilan Bahasa Anak

Minggu, 21 Juni 2009, 11:25 WIB

VIVAnews - Menempatkan televisi di dalam jarak yang dekat dengan pendengaran anak-anak atau bayi Anda kemungkinan akan merintangi perkembangan bahasa percakapan dan interaksi antaranak dan orangtua.

Sebuah penelitian menunjukkan setiap jam, waktu anak-anak bisa dihabiskan mendengarkan televisi dan sedikit sekali mendengarkan kata-kata yang diucapkan orangtuanya, sehingga minim terbentuknya kosakata yang dikeluarkan anak dalam merespon.   

"Hal itu terjadi beberapa kemungkinannya akibat anak-anak dibiarkan sendiri di depan layar televisi, atau bisa saja mencerminkan kebiasaan orang dewasa yang saat menonton televisi tidak berinteraksi dengan bayi atau anak mereka," tulis Dimitri A Chirstakis, peneliti dari Universitas Washington dan konsultan di Archives of Pediatrics & Adolescent Medicine seperti dilansir WebMD Health News, Minggu, 21 Juni 2009.

Selain itu, kata dia, 30 persen rumah tangga diketahui selalu mengisi waktunya dengan televisi dan terdapat bukti dari pertanyaan yang disodorkan bahwa sedikit peluang terjadinya percakapan antara orang tua dan anak.  

antique.putra@vivanews.com
• VIVAnews

Depresi-Facebook, Ancaman Baru Psikologi Anak


Depresi-Facebook, Ancaman Baru Psikologi Anak

Selasa, 29 Maret 2011, 10:07 WIB

Bayu Galih

VIVAnews - Di zaman modern ini, dunia maya menjadi salah satu ancaman bagi psikologi anak. Jejaring sosial seperti Facebook, misalnya, bisa saja menganggu kejiwaaan anak, jika mereka tidak diawasi. Gangguan psikologi ini sering dinamakan depresi-Facebook (Facebook depression). 
Menurut laporan American Academy of Pediatrics (AAP), depresi bisa dihindari apabila orang tua mengawasi perilaku anak mereka di dunia maya.  Para peneliti di akademi itu menyarankan psikolog anak  (pediatricians) untuk aktif bicara kepada pasien anak-anak, orang tuanya, mengenai keselamatan di dunia maya. Keselamatan itu termasuk privasi, anonimitas, dan perilaku bullying di dunia maya.

"Kami tidak ingin melakukan demonisasi terhadap dunia maya atau mengatakan social media itu buruk. Kami hanya ingin orang tua lebih memperhatikan apa yang terjadi kepada anak mereka," kata penulis laporan Gwenn Schurgin O'Keeffe, seperti dikutip dari Livescience.com.

Masalah dunia maya memang menjadi perhatian bagi perkembangan psikologi anak dan remaja. Berdasarkan studi yang dilakukan tahun lalu, 70 persen remaja pengguna internet di Amerika menggunakan jejaring sosial. Bahkan lebih dari setengahnya menggunakan jejaring sosial lebih dari sekali.

Sejumlah masalah yang biasa mengancam psikologi dan dapat menimbulkan depresi pada anak antara lain bullying, ekperimental seksual, dan interaksi dengan orang asing.

Dengan adanya dunia maya, masalah itu pun berkembang menjadi cyber bullying, eksperimental seks dengan tekstual (sexting) atau gambar, hingga interaksi dengan orang asing dengan anonimitas. Inilah penyebab terjadinya depresi-Facebook.

"Dokter harus bisa memberikan nasehat kepada orang tua akan isu-isu tersebut. Orang tua juga harus belajar internet agar memahami konteksnya," ujar O'Keeffe.

Walau begitu, jejaring sosial juga dianggap memiliki sejumlah manfaat. Antara lain, jejaring sosial dianggap dapat membangun kepekaan anak akan komunitas dan berkomunikasi dengan sesama. Anak-anak juga bosa mendapatkan pendidikan seksual secara benar. 

Namun, tetap penting bagi orang tua untuk menjamin anak-anak berinteraksi di dunia nyata, dan tidak hanya berkutat di dunia maya. Karena salah satu tanda "depresi-Facebook" adalah ketika anak merasa kikuk dan moody setelah menghabiskan banyak waktu dengan membuka situs jejaring sosial.
• VIVAnews