Selasa, 18 Januari 2011

Pengaruh Lingkungan Terhadap Perkembangan Mental Anak dari Tinjauan Pembentukan Pola Neurologis Otak


Pengaruh Lingkungan Terhadap Perkembangan Mental Anak dari Tinjauan Pembentukan Pola Neurologis Otak

Nara sumber: H. Ir. Purwanto Yusdharmanto

Seminar online KHARISMA Women and Education bulan Oktober 2009 mengangkat tema “Pengaruh Lingkungan terhadap perkembangan Mental Anak dari Tinjauan Pembentukan Pola Neurologis Otak". Nara sumber seminar kali ini adalah Bapak H. Ir. Purwanto Yusdharmanto, seorang public speaker, trainer dan mentality therapist. Beliau merupakan pendiri PT. REPS Indonesia, penggagas Deep-Mind Power Engineering Technique (http://deepmindpower.com/), yang telah berpengalaman melakukan pelatihan dan terapi untuk perusahaan, keluarga, dan siswa sekolah menengah.

Secara garis besar, manusia, sejak usia kanak kanak hingga dewasa, selalu berada dalam keadaan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Menurut penelitian pakar neurologi otak, manusia akan senantiasa dibentuk oleh lingkungan atau faktor eksternal dari luar tubuhnya dalam setiap detik kehidupannya, selama ia masih dapat bernapas.

Pengaruh lingkungan pada anak-anak sangat luar biasa karena pada masa kanak-kanak dikenal “the golden age" atau masa keemasan di mana penyerapan hal-hal yang membentuk pola di dalam otak anak berlangsung sangat cepat dan mudah. Di dalam otak anak terdapat milyaran sel syaraf, dan pada sel-sel syaraf tersebut akan terbentuk pola-pola mental dan karakter. Contohnya seorang anak yang memiliki pengalaman disuntik dengan sedikit dipaksa. Kejadian tersebut meninggalkan rasa sakit sehingga terekam dan meninggalkan pola asosiasi yang kuat pada anak, bahwa setiap orang yang berpakaian putih-putih identik dengan suntikan. Akibatnya dengan hanya melihat orang berpakaian putih-putih seperti dokter, suster atau orang lain yang mungkin tidak ada hubungannya dengan suntikan dia sudah merasa ketakutan dan histeris. Sayangnya, orang tua sering mengabaikan hal-hal yang terlihat sepele semacam ini.

Contoh lain pengaruh lingkungan pada anak bisa dilihat pada cerita Tarzan. Tarzan begitu lihai berjalan, bercakap dan bertingkah laku seperti kera dan binatang-binatang hutan lainnya. Hal ini karena setiap waktu dalam sebuah kurun waktu tertentu ia senantiasa mendapatkan rangsangan-rangsangan dari lingkungan sekitarnya mengenai cara hidup di hutan. Ternyata saat ia dewasa dan bertemu manusia, baru ia sadari bahwa sebenarnya bukan seperti itu seharusnya ia berjalan, bercakap, dan bertingkah laku.

Pada orang dewasa, perulangan kejadian juga bisa menyebabkan terbentuknya pola perilaku. Misalnya orang yang sebelumnya tidak pernah menggosip, ketika ia mulai menggosip hal ini akan membentuk pola menggosip di otaknya. Semakin sering ia mencoba menggosip, pola yang terbentuk akan semakin kuat dan hidup. Menurut dr. Taufik Bachtiar, pakar neurologi otak Indonesia, ketika kebiasaan sudah menjadi terlalu sering, maka pola perkembangan otak akan menjadi hidup seolah-olah dia perlu berkembang, menjadi besar dan mencari sambungan yang lebih besar lagi. Pada akhirnya otak akan selalu berusaha mencari makanan untuk pola yang terbentuk ini. Orang yang terbiasa menggosip akan menjadi pusing ketika lama tidak menggosip. Pusing yang ia rasakan merupakan sinyal yang dikirim otak untuk mencari makanan, dalam hal ini menggosip.



Perulangan kejadian seperti ini dapat pula menjadi sumber terbentuknya trauma. Misalnya pada si anak yang takut disuntik, ketika setiap kali disuntik ia selalu dipaksa maka bisa jadi dia menjadi trauma dengan suntikan. Hal penting yang perlu diingat oleh orang tua adalah jangan menganggap sepele setiap kejadian yang terjadi pada anak. Karena banyak trauma yang terjadi pada orang dewasa ternyata disebabkan oleh kejadian saat ia masih kecil. Semua hal yang terekam oleh hati dan panca indera kita, apa yang kita ingat, lihat, dengar dan rasakan sebenarnya tidak pernah hilang dari otak kita. Saat kita mengalami trauma dan kemudian menjalani terapi untuk menghilangkannya, pada dasarnya yang dihilangkan adalah intensitas rasa takutnya. Namun ingatan kita akan hal yang pernah terjadi akan tetap tinggal di dalam mental dan jiwa kita.

Ada kasus seorang ibu yang sering merasa kurang percaya diri. Rasa kurang percaya diri ini pada akhirnya sering menimbulkan masalah dalam pekerjaannya. Pak Purwanto, narasumber kita kali ini, kemudian berusaha menggali penyebab dari masalah ini. Singkat cerita, ditemukanlah sumbernya, sebuah kejadian di masa lalu ibu tersebut. Pada saat SD dan SMP beliau selalu berprestasi dan membanggakan kedua orang tuanya. Tiba saatnya masuk SMA, orang tuanya memaksa beliau untuk masuk sebuah SMA elite pilihan orang tuanya. Sang ibu yang mendapati dirinya berasal dari keluarga biasa-biasa saja dihadapkan pada kondisi teman-temannya yang berbeda, misalnya pergi ke sekolah selalu diantar mobil pribadi. Hal ini menyebabkan beliau merasa minder yang pada akhirnya menghambat prestasi beliau di SMA dan universitas.

Selain dipengaruhi, mental anak juga bisa mempengaruhi lingkungannya (orang tua, suasana dan kondisi rumah). Kedua hal ini bisa dianalogikan seperti ayam dan telurnya, tidak jelas yang mana muncul lebih dulu dan saling mempengaruhi satu sama lain. Contohnya anak yang takut disuntik tadi. Trauma si anak bisa mempengaruhi sikap kedua orang tuanya. Mereka misalnya menjadi over protective terhadap si anak. Selanjutnya, sikap over protective ini pun akan balik mempengaruhi anak tersebut menjadi anak yang tidak mandiri. Yang paling baik dalam situasi seperti ini adalah orang tua mencoba melakukan penyelarasan dan membangun komunikasi yang baik dengan anak.

Untuk mendapatkan perkembangan mental yang baik, kita perlu mengetahui beberapa hal penting dalam pembentukan mental. Pertama, kita perlu mengetahui faktor-faktor pembentuk pola keyakinan manusia, dari anak-anak hingga dewasa.

1. Lingkungan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, lingkungan dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sistem mental manusia.

2. Pengetahuan, terutama pengetahuan yang diberikan saat golden age, masa dimana anak sangat cepat sekali meniru apa yang ia lihat, dengar dan rasakan.

3. Pengalaman-pengalaman yg dialami oleh anak-anak kita. Apa yang mereka alami saat anak-anak akan membekas sampai mereka dewasa.

4. Tantangan atau rangsangan yang diberikan kepada anak untuk memancing kemampuan dan rasa percaya dirinya.

5. Mindset and mentality programming. Ketika manusia mengalami trauma, grogi, phobia, gelisah, ragu-ragu dan berbagai kecemasan lainnya sebenarnya mereka sedang melihat bayangan mentalnya sendiri. Mereka seperti sedang melihat film horrornya sendiri. Bila hal ini terjadi berulang-ulang akan kembali membentuk mentalnya. Mindset dan mentality programming dilakukan untuk membangun bayangan mental yang baru.

Hal penting lain menyangkut sistem keyakinan yang terbentuk adalah sistem indera manusia. Sistem indera manusia selalu bekerja menerima rangsangan. Apa pun yang kita lihat, dengar dan rasakan akan selalu direkam oleh otak kita. Ada 2 macam pola perekaman rangsangan oleh anak.

1. Anak merekam secara sadar, biasanya didasari oleh rasa ketertarikan. Misalnya ketika anak menonton televisi, ia menyukai film kartun tertentu, maka ia akan berusaha melihat, mendengar, merasakan film tersebut dan pada akhirnya menceritakan kembali atau menirukan gerakan-gerakan dari film yang ia tonton.

2. Anak merekam secara tidak sadar. Pada awalnya anak tidak berniat melihat, mendengar atau merasakan sesuatu. Akan tetapi karena hal tersebut terjadi berulang-ulang maka kejadian tersebut dapat terekam dalam mentalnya. Sebagai contoh, anak yang sedang bermain sendiri di kamar namun mendengar suara orang tuanya yang sedang bertengkar. Dalam kondisi seperti ini, anak terlihat tetap aktif bermain namun tanpa disadari merekam suasana pertengkaran kedua orang tuanya. Contoh lain adalah anak yang tertidur di depan televisi. Hal ini sangat berbahaya karena suara-suara dari televisi akan tetap dicerna dan ditangkap oleh telinga yang kemudian akan meneruskan sinyalnya ke otak kita. Pada kejadian ini, gelombang otak tidak ikut tidur namun terus bekerja merekam suara-suara yang ditangkap indera pendengaran dan memasukkan ke dalam mentalnya.

Pola perekaman yang kedua kadang kala lebih berbahaya dari pola perekaman yang pertama karena sering tidak disadari oleh orang tua. Yang bisa dilakukan orang tua untuk mengantasi hal ini adalah dengan

1. Mempersiapkan lingkungan
Salah satu contoh penyiapan lingkungan adalah dengan meyetel VCD pendidikan anak, dongeng atau murattal. Biarkan anak tidur dengan mendengarkan suara-suara atau kisah-kisah yang baik. Kisah-kisah tersebut biasanya akan terbawa mimpi oleh sang anak dan merupakan sarana terapi yang cukup baik.

2. Melakukan kalibrasi atau pengecekan dengan cara berdialog dan bercerita
Misalnya kita ingin anak dapat bangun pagi dan shalat subuh berjamaah di masjid. Ajak anak berdialog sebentar (3-5 menit) sebelum tidur untuk menanamkan motivasi dan keyakinan diri si anak. Contohnya dengan mengatakan: "Fulan anak yang sholeh ya, anak laki-laki yang sholeh biasanya shalat subuh ke masjid bersama ayah. Jadi besok Fulan shalat subuh bersama ayah yah. Besok ketika dibangunkan langsung bersemangat yah."

Selanjutnya, sistem otak manusia tidak hanya menerima rangsangan tetapi juga memancarkan rangsangan. Ambil contoh membangunkan anak untuk sekolah. Ketika orang tua memberikan rangsangan yang kurang baik kepada anak, maka anak juga cenderung memberi respon yang tidak baik. Misalnya ketika ayah membangunkan anak dengan terburu-buru, dengan sedikit rasa kesal, maka yang akan terjadi adalah anak yang susah dan marah ketika dibangunkan. Yang biasa dilakukan orang tua dalam kondisi seperti ini adalah dengan teknik "pemaksaan" terhadap anak. "Jika kamu tidak bangun nanti ayah tidak beri uang jajan, jika kamu tidak bangun kamu tidak usah sekolah".

Kita harus ingat otak dan mental kita senantiasa memancarkan energi. Supaya anak hanya menerima energi yang positif dari kita, kita harus berusaha mematahkan atau menyelaraskan energi negatif yang sudah terlanjur keluar. Misalnya dalam hal anak terlanjur kesal dibangunkan. Sejenak tarik napas dalam-dalam dengan tujuan mematahkan pola energi negatif tadi. Kemudian ajak anak berdialog atau melakukan aktivitas lain yang menyenangkan yang tidak ada hubungannya dengan trauma yang ia rasakan. Dalam hal ini, jangan bicarakan tentang mandi, atau tentang sekolah. Ajak anak tertawa dan bercanda misalnya dengan menggelitiki ia atau melakukan perang bantal. Selanjutnya, saat anak sudah merasa senang, langsung angkat ke kamar mandi dan katakan "yuk sekarang ke kamar mandi" tanpa harus ditanya lagi "mau mandi tidak?" atau "mau sekolah tidak?". Teknik seperti ini disebut teknik pematahan pola.

Selain itu, kita harus menyiapkan diri melakukan penyelarasan terhadap dunia anak-anak. Sesuai fitrahnya, manusia merasa senang dekat dengan siapa saja yang mirip dengan dirinya, baik itu anak-anak, remaja atau pun dewasa. Sebagai orang tua, kita tidak bisa memaksa anak-anak masuk ke dunia orang dewasa. Sebaliknya, kita harus berusaha masuk ke dalam dunia anak-anak, ke dalam bahasa, gaya, perasaan, perilaku. Ketika kita dapat masuk ke dalam dunia mereka, insya Allah anak-anak akan merasa nyaman dengan kita. Dan ketika mereka sudah merasa nyaman dengan kita, insya Allah semua motivasi dan masukan apa pun yang ingin kita berikan kepada anak-anak akan dapat diterima dengan baik.

Pertanyaan dan jawaban

1. Tanya : Kisaran usia untuk masa golden age pada anak.

Jawab: Masa golden age pada anak berlangsung pada usia 0 sampai dengan 13 tahun, walaupun sebenarnya pada usia 14 tahun masih terjadi proses penyerapan pada otaknya. Dalam proses pendewasaan, manusia mulai memiliki hal yang biasa kita sebut prinsip. Ketika prinsip-prinsip tersebut mulai menempel pada diri seseorang, ia mulai mengadakan penolakan-penolakan terhadap hal-hal yang dirasa tidak cocok dengan dirinya. Dalam kajian hypnotheraphy ada yang dinamakan critical area. Critical area adalah ketika anak sudah dapat memberikan kritisi atau argumentasi atas masukan atau teguran yang diberikan orang tua terhadap anak. Misalnya, orang tua yang terbiasa membaca doa dalam hati sebelum makan. Ketika anak diingatkan untuk membaca doa sebelum makan, ia berdalih bahwa orang tuanya juga tidak membaca doa sebelum makan. Ketika dikatakan bahwa ayah/ibu membaca doa dalam hati, maka si anak berkata kalau demikian ia juga bisa membaca doa dalam hati. Argumentasi yang mulai bisa diberikan anak, misalnya pada usia 10 dan 12 tahun menandakan critical area yang mulai terbentuk. Golden age merupakan masa dimana critical area ini belum terlalu banyak.

2. Tanya:
a. Pola asuh seperti apa yang diharapkan agar pola sambungan neurologis anak berkembang dengan sempurna?
b.Pada kasus-kasus tertentu, dimana mental anak sudah terganggu adakah sesuatu yang bisa kita lakukan?

Jawab:
a. Sebagai orang tua, kita sebaiknya memiliki rencana yang spesifik untuk anak-anak kita, yaitu ingin kita arahkan seperti apa nantinya anak-anak kita. Paling tidak, kita harus memiliki niat untuk merencanakan masa depan anak kita sesuai dengan nilai-nilai syariat Islam seperti yang telah dicontohkan Rasulullah SAW. Pola asuh yang sebenarnya akan muncul dari apa yang kita rencanakan tersebut. Misalnya, kita ingin anak kita sudah dapat menghapal quran 15 juz ketika lulus SD. Dengan memiliki target seperti ini, orang tua akan mulai berpikir apa yang dapat dilakukan untuk mencapai target tersebut. Dua hal yang harus selalu diingat oleh orang tua adalah, yang pertama, apa pun yang yang anak kita lihat, dengar dan rasakan akan selalu terekam dalam otaknya. Yang kedua, mental anak yang terbentuk akan mempengaruhi kondisi di dalam rumah.
b. Jika interaksi kita sebagai orang tua dan anak kurang, dikarenakan oleh kesibukan pekerjaan dan lain sebagainya, Pak Purwanto menyarankan untuk memperhatikan faktor lingkungan. Kita perlu memperhatikan rangsangan-rangsangan yang diterima anak, mengontrol lingkungannya terutama untuk aktivitas-aktivitasnya di luar rumah.

3. Tanya: Bagaimana metode yang baik untuk memberi teguran kepada anak?

Jawab: Orang tua harus melakukan penyelarasan dengan cara meniatkan diri untuk masuk ke dalam dunia anak-anak. Niat ini penting untuk menyelaraskan energi yang terpancar dari diri kita. Kita perlu menyelaraskan energi, karena kondisi dan suasana hati orang tua akan serta merta menular kepada anak. Ketika kita sedang kesal, energi kesal akan menular kepada anak, mempengaruhi mentalnya dan selanjutnya akan mempengaruhi sikap anak kepada kita. Untuk mematahkan energi ini cobalah untuk menarik napas dalam melalui hidung, keluarkan melalui mulut. Lanjutkan dengan menyebut nama Allah seperti mengucapkan istighfar atau hamdallah. Kemudian munculkan rasa sayang kepada anak, sehingga energi sayang menular dan segera ditangkap oleh hati anak. Ajak anak bicara dengan menggunakan bahasa dan dengan memperhatikan perasaan mereka. Posisikan diri kita sebagai teman, tinggalkan kewibawaan sebagai orang tua. Tanyakan mengapa mereka berbuat demikian dan ketika mereka sudah merasa nyaman, masukkan teguran kita tanpa amarah. Jelaskan bahwa anak sholeh/sholehah tidak berbuat seperti itu. Senakal-nakalnya anak, ketika mereka merasakan pancaran kasih sayang orang tuanya, akan merasa tidak enk ketika melakukan sesuatu yang salah. Mereka bisa segera meminta maaf tanpa disuruh oleh orang tuanya.

4. Tanya: Mental anak mempengaruhi lingkungan, bagaimana contohnya?

Jawab: Contohnya, seorang anak yang penakut. Kondisi ini salah satunya akan mempengaruhi sikap orang tua terhadap si anak. Respon yang diberikan orang tua bermacam-macam. Ada orang tua yang merasa kecewa, karena merasa dirinya bukan seorang yang penakut. Ia tidak berusaha melakukan penyelarasan, malah menyalahkan si anak terhadap masalah yang dihadapinya. Ada pula orang tua yang menjadi over protective, tidak membiarkan si anak main keluar sendiri. Orang tua lainnya berusaha memberikan rangsangan dan membangun kepercayaan diri si anak. Misalnya dengan memberikan tantangan yang diyakini dapat diselesaikan si anak sehingga pulih rasa percaya dirinya.
*dituliskan kembali oleh: Anggraeni

Manfaat Hidup Bertetangga


Manfaat Hidup Bertetangga

INGIN terbebas dari risiko hipertensi? Cobalah hidup bertetangga. Orang-orang yang tinggal di lingkungan yang banyak tetangga bisa hidup tenang. Sebab jauh dari risiko kejahatan serta terdapat banyak fasilitas sosial dan umum. Warganya punya solidaritas tinggi.

Seperti dikutip jurnal Epidemiology, bulan lalu, lingkungan itu bisa menunjang kesehatan jantung. Menurut Profesor Ana V. Diez Roux, epidemiolog di University of Medicine, Amerika Serikat, banyaknya gang juga ikut berperan karena dapat mendorong warga untuk berjalan kaki. “Kondisi itu bisa membuat orang lebih rileks dan dapat memulihkan stres,” katanya.

Pernyataan Ana itu didasarkan pada studi terhadap 2.612 pria dewasa berusia 45-65 tahun di Amerika Serikat. Hasilnya, risiko terkena tekanan darah tinggi pada orang yang tinggal di permukiman yang tetangganya berdekatan adalah seperempat lebih rendah ketimbang yang tinggal di permukiman yang agak berjauhan satu sama lainnya atau yang kurang bergaul dengan tetangga.

“Perlu kebijaksanaan yang dapat menciptakan lingkungan kondusif untuk membuat pilihan yang menyehatkan dan mengurangi stres,” ujarnya. (Gatra, 30 Juli 2008). (Ditulis kembali oleh: Mohamad Istihori).