Senin, 08 November 2010

Krisis Identitas

Dadang Hawari – Krisis Identitas

Sumber Hammas

Menggugat Budaya Serba Boleh

“Siapkan generasi muda Islam yang jauh dari Islam, tapi tidak usah memurtadkannya. Generasi muda Islam yang sesuai dengan kehendak kaum penjajah: pemalas dan hanya mementingkan kepuasan nafsunya. Jika itu tercapai, misi utama kalian bisa berhasil dengan maksimal” (Samuel Zweimer, Tokoh Yahudi, Direktur Organisasi Missi pada Konferensi Missionaris di Yerusalem, 1935).

Gundukan tanah merah di Taman Pemakaman Umum Ar-Rahmah, Tangerang, masih basah berduka. Turut menangisi akhir tragis kehidupan Eka Wanti (20 th) dan Rani Sintami (12 th), dua kakak-beradik korban acara jumpa fans A1 (baca: Eiwan) di Mal Taman Anggrek Jakarta (18/3). Tanah merah basah itu jadi saksi suatu kesia-siaan yang hanya berujung pada gumpalan penyesalan. Selain Eka dan Rani, dua gadis remaja lainnya juga tewas dalam acara yang sama.

Bukan kali ini saja para remaja ‘merelakan’ nyawa dan hidupnya demi sebuah tong kosong. Di Bandar Lampung, 19 November tahun lalu, konser Sheila On 7 (SO7), juga merenggut paksa nyawa empat remaja. Tak terbilang lagi berapa remaja yang terinjak-injak, jatuh pingsan, bahkan mengalami pelecehan seksual. Korban yang berjatuhan, bukan lagi belasan, tapi sudah puluhan bahkan ratusan.

Seperti yang terjadi di Gelanggang Olahraga (GOR) Padjadjaran Bogor (6/3). Saat itu SO7 menggelar konser, tidak kurang dari 80 remaja jatuh pingsan. Fla Priscilla, penyiar Radio Prambors Jakarta yang kebagian tugas meliput pertunjukkan tersebut, tulang kering kakinya robek dan terpaksa dioperasi sepuluh jahitan.

Yang paling anyar, konser SO7 di Cirebon (25/3) juga berujung rusuh. Belasan remaja luka-luka, bahkan satu orang tertembak kakinya oleh peluru aparat saat tindak pengamanan. Dan ini mungkin bukan yang terakhir. Kasus-kasus serupa tidak mustahil akan terulang kembali jika hal tersebut masih saja dipelihara.

Jika mau jujur, tanpa bermaksud mengecilkan arti hilangnya beberapa nyawa di atas, kasus yang membetot kesadaran tersebut sebenarnya cuma sebuah riak kecil dalam keriuhan dan kegaduhan budaya liar ekosistem yang memang teramat kompleks seperti sekarang ini. Bagaimana pun, budaya hanyalah satu kepingan kecil dari keseluruhan mosaik tata nilai yang berlaku di masyarakat.

Chaerul Umam, pekerja seni yang kerap mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan dalam film-film garapannya memandang hal itu memang bagian yang inheren dengan ‘modernisasi’ yang kini katanya tengah mengglobal. “Ini pengaruh dari sampah-sampah globalisasi yang membingungkan. Dikira positif atau modern, dan dianggap harus, maka diambil saja. Nggak diambil substansi modernisasi yang sebenarnya. Tapi sampahnya saja yang ditiru,” keluh Mamang, panggilan akrab Chaerul Umam.

Sejalan dengan Mamang, Prof. Dadang Hawari menilai, “Ini tidak lain karena pengaruh globalisasi informasi dari Barat. Semua masuk dan dalam keadaan interaksi antar budaya karena tidak ada ruang batas waktu teritorial lagi.

Karena dunia ini sudah terbuka, maka tata nilai kehidupan atau gaya hidup dari negara-negara yang dianggap maju tentu pengaruhnya lebih besar dari yang terbelakang seperti kita sekarang ini.”

Dadang Hawari menambahkan, “Yang lebih ironis lagi, kita punya pemimpin yang idolanya itu bukan Nabi Muhammad saw. Maka jadilah krisis identitas. Jadi sebenarnya, krisis kita sebagai bangsa bukan hanya remajanya saja yang krisis identitas, tapi orangtua bahkan pemimpin kita juga krisis identitas.”

Mutammimul ‘Ula, SH, sepakat jika fenomena yang menimpa kebanyakan remaja sekarang ini juga tidak bisa dilepaskan dari sikap para orangtua saat ini. “Pergaulan remaja itu berbanding lurus dengan masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat keseluruhan itu mengalami permisivisme, cenderung serba boleh. Di satu sisi terbentuk kalangan agama, umat Islam khususnya mengalami pengentalan, nilai-nilai yang ketat dan keras. Tapi di sisi lain ada yang mengalami pengendoran nilai-nilai agama,” tutur Mas Tamim, sapaan akrabnya.

Mantan Ketua PB-PII ini menyimpulkan, “Jadi remaja itu bagian saja, refleksi dari kehidupan masyarakat secara umum. Dia bukan sekelompok kecil yang bebas, lalu yang tua-tua itu nggak ikut andil. Mereka juga terlibat. Jadi permissivisme itu melanda sebagian besar masyarakat.”

Seabreg sisi negatif yang diakibatkan budaya serba boleh kini memang tidak menghinggapi para remaja saja, banyak orangtua pun turut terinfeksi. Namun khusus terhadap para remaja, memang diperlukan suatu tindakan serius guna menanganinya. Sebab bukankah masa depan suatu bangsa itu terletak di tangan para generasi muda? Jika kini banyak generasi muda yang rusak, maka akan jadi apa bangsa ini kelak? Terlebih bangsa Indonesia adalah bangsa Muslim terbesar di dunia, jika asset yang sangat berharga ini rusak, siapa yang akan mengeduk keuntungan selain musuh-musuh Allah?

Prof. Dadang Hawari punya pandangan menarik. Tokoh medis yang banyak menangani kasus-kasus NAZA ini tidak percaya jika segala kerusakan ini terjadi begitu saja tanpa ada kepentingan suatu kelompok dibaliknya. “Ada upaya sistematis menghancurkan negara, bukan dengan senjata api, tapi dengan NAZA (Narkotika dan Zat Adiktif lainnya) termasuk minuman keras, yang lainnya ya merusak akidah.

Apalagi negara kita ini mayoritas Muslim, bagaimana akidahnya, moralnya dirusak dengan cara NAZA, jadi hancur. Keluarga yang tadinya baik-baik, jadi munkar perilakunya.” Henry Yosodiningrat, pengacara kondang yang juga memimpin LSM Granat (Gerakan Anti Narkotika) dalam sebuah acara di stasiun teve swasta juga pernah melontarkan sinyalemen ini. “Sebab bila tidak demikian, penjelasan apa yang bisa dikemukakan jika yang dijadikan sasaran utama narkotika itu adalah generasi muda, yang masih anak-anak malah,” ujarnya dengan nada tinggi.
Penghancuran suatu bangsa atau negara lewat NAZA dan sejenisnya bukan sekadar isapan jempol. Sejarah mencatat, ketika berperang dengan Barat (Inggris), seluruh elemen masyarakat Cina—dari para politisi, tentara, hingga lapisan rakyat kecil dicekoki Barat dengan candu.

Mereka jadi lemah. Dengan amat mudah Barat berhasil memenangkan perang tersebut dan Cina dijajah. Tanah Cina yang luas itu dikapling-kapling untuk Jerman, Belanda, Itali, dan Inggris. Sebab itu, perang antara Cina lawan Barat tersebut, lebih populer dalam sejarah disebut Perang Candu (1839-1842 dan 1856-1860)

Contoh lain adalah perang Vietnam. Pasukan Marinir AS yang legendaris dan dibekali dengan persenjataan mutakhir akhirnya bertekuk-lutut di hadapan serdadu Vietkong yang lebih mirip petani dengan senjata seadanya. Walau banyak hal yang menyebabkan kekalahan Marinir AS ini, namun peranan strategi Vietkong yang terus-menerus mengumpan morfin pada tentara AS tidak bisa diremehkan. Marinir AS yang melegenda itu pada akhirnya lemah dan tunggang-langgang lari dari neraka Vietnam. Hingga detik ini, perang Vietnam masih menjadi momok menakutkan bagi warga Paman Sam tersebut.

Akan halnya Indonesia, Barat (yang telah dikuasai Zionis) memang amat berkepentingan untuk melemahkannya. Prof. Dadang Hawari menegaskan, jaringan Zionis memiliki banyak kepentingan dengan Bangsa Muslim terbesar di dunia ini. “Ada peran Zionis di sini. Di dunia ini, Zionis itu terkenal dengan bisnis narkotika, VCD porno, dan pelacuran,” tandasnya.

Sikap Dadang Hawari sejalan dengan pandangan pakar ekonomi dari Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya, Prof. Dr. Suroso Imam Sadzuli. Dalam buku ‘Molimo’ (Hawari, 2000), Suroso menilai hubungan RI-Israel akan banyak merugikan Indonesia, baik secara ekonomi mau pun politik. Lebih jauh Suroso menuturkan jika hubungan itu terealisasi maka Indonesia akan jadi lintasan jaringan bisnis narkotika internasional, sebab Israel juga merupakan “negara shabu-shabu dan prostitusi” terkenal. “Israel bisa mengawali dengan dagang film atau VCD, lalu kemudian narkotika dan akhirnya ekspor prostitusi,” ujar Suroso.

Hal tersebut sesungguhnya bukan barang baru lagi bagi umat Islam. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah berfirman, “Tidak akan pernah rela kaum Yahudi dan Nasrani kepadamu, hingga kamu mengikuti keyakinan mereka” (QS. Al-Baqarah:120). Maha Benar Allah dengan segala firman-NYA. Sebab itu, selama jantung orang-orang Yahudi masih berdegup, selama nafas masih dikandung badan, selama itulah mereka senantiasa memerangi kaum Muslimin di mana pun berada. Pernyataan Samuel Zweimer di atas hanyalah contoh kecil dari kebencian dan itikad buruk kaum Zionis kepada umat Islam.

Ironisnya, segala serangan budaya yang dilancarkan Zionis terhadap generasi muda kita diterima dan dimamah bulat-bulat. Jadilah mereka generasi muda yang bangga dengan meniru dan menjadi pengikut, bukan pelopor. Mereka tak sadar bahwa idola massa (penyanyi, bintang film, dan sejenisnya) seperti dikatakan Horkheimer—tokoh Sekolah Frankfurt, juga bukan dalam artian sesungguhnya.

Mereka—idola massa itu—hanya fungsi dan sekedar iklan dari industri modal. Kebesaran dan ‘ketampanan’ mereka hanyalah perpanjangan tangan dari kebesaran dan ‘ketampanan’ teknologi kapitalis.

Namun walau demikian, di tengah kondisi yang meresahkan hati ini ternyata masih ada putera-puteri kita yang santun dalam bergaul, sekaligus taat pada Sang Pencipta. Oase yang menyejukkan di tengah padang tandus ini tengah menggeliat membentuk diri jadi kreator kehidupan. Mereka membangun budaya alternatif sebagai tandingan budaya jahili.

Manajer Tim Nasyid Izzatul Islam, Nurkholiq Ramdhan, menyatakan, “Jika ditanya siapa sesungguhnya figur kita-kita ini, ya Rasulullah saw. Namun remaja kan butuh pula figur yang ril. Jika itu tidak didapat dari lingkungan keluarganya, entah ayah ibunya, dia akan mencari keluar rumah. Untuk inilah diperlukan suatu budaya alternatif seperti nasyid, misalnya.”

Menumbuhkan budaya alternatif, yang muncul dari tengah-tengah masyarakat sendiri tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan positif dari pemerintah. “Seperti filosofi wudhu, maka yang pertama mempunyai kewajiban membersihkan diri adalah pihak penguasa, setelah itu baru turun hingga ke rakyat bawah,” kata ustadz Rahmat Abdullah.

Pihak penguasa yang memiliki alat pemaksa sesungguhnya berkewajiban memilah mana budaya yang diperbolehkan dan mana yang tidak, atau minimal membuat rambu-rambu yang tegas dengan pelaksanaan hukuman bagi pelanggarnya yang sungguh-sungguh ditegakkan. Ini semua perlu dilakukan demi kemashlahatan umat.

Dadang Hawari mencontohkan, “Di negara-negara Islam, seperti di Pakistan dan Bangladesh, kalau ketahuan berzinah hukumannya dicambuk rame-rame. Kalau di Saudi lebih jelas lagi karena hukum Islam sudah ditegakkan sampai ada yang dihukum mati. Dan di Eropa serta Amerika, sebenarnya sudah menuju ke sana, misal, perkosaan saja itu sudah sampai ada yang dihukum mati. Jadi dalam banyak hal, kalau kita mau jujur, maka UU yang dibuat oleh manusia, baik di Eropa maupun di Amerika yang sudah maju itu, banyak hukum-hukum Islam yang dijalankan.”

Dadang menambahkan, “Masyarakat AS sekarang telah membuat UU Anti Pelacuran, bahkan di Thailand UU Anti Pelacuran sudah ada sejak tahun 1996. Barangsiapa melakukan bisnis pelacuran, itu bisa dihukum penjara, karena apa? Karena pelacuran adalah eksploitasi seksual komersial atas kaum perempuan. Omset pelacuran di negara kita ini 11 trilyun, sebab itu dipelihara sekali.”

Indonesia harusnya malu dengan kenyataan ini. Sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia, Indonesia seharusnya bisa lebih tahan terhadap serbuan sistem dan budaya jahili tersebut. Terlebih di balik serbuan tersebut terselip kepentingan ideologis Zionis yang bernafsu menghancurkan generasi muda Islam. Tapi apa mau dikata, mungkin sekarang belum bisa kita mengharapkan itikad baik dari pemerintah. Apalagi Presiden Abdurrahman Wahid sendiri punya hubungan kental dengan Zionis Israel?

Jalan satu-satunya, seperti yang disepakati Ustadz Rahmat Abdullah, Dadang Hawari, dan juga Psikolog Sartono Mukadis, akan lebih mungkin adalah dengan memberdayakan ketahanan keluarga kita sendiri, baru ketahanan masyarakat sekitar.

Rizki Ridyasmara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar