Jumat, 18 Februari 2011

Trauma Stempel Teroris

GATRA.COM


Trauma Stempel Teroris

Jakarta, 19 September 2003 00:38

PEREMPUAN bercadar warna biru gelap itu duduk termangu. Matanya sembap. Suaminya, Akhmad Sofyan alias Tamim, sejak 14 Agustus 2003 menghuni sel tahanan khusus Kepolisian Daerah Metro Jaya. ''Saya senasib dengan Ibu-ibu ini," kata Supratiwi, nama wanita itu, ketika bersama 16 perempuan lain mengadu ke Majelis Ulama Indonesia, Selasa lalu.

Ibu satu putra yang tinggal di Griya Cipencang Indah Blok E Nomor 1, Cileungsi, Bogor , itu mengaku sempat kehilangan "kontak" dengan suaminya selama enam hari. Tamim diciduk, menurut istilah Supratiwi diculik, 14 Agustus 2003, dan baru mendapat pemberitahuan penahanannya, 20 Agustus.

Tamim, lelaki asal Palembang berusia 34 tahun ini, adalah sarjana Ilmu komputer lulusan tahun 2001 dari sebuah sekolah tinggi informatika di Jakarta Barat. Terakhir, ia bekerja di sebuah perusahaan perancang industri. Saat masih belia, pada 1989-1991, ia sempat mengikuti pendidikan militer di Al-Ittihad Islam Pakistan , dan ikut berjihad di Afghanistan bersama kaum Taliban. Ia pulang ke Jakarta , kembali ke bangku kuliah, lalu bekerja.

Toh, ia masih menjalin hubungan dengan sejumlah kawan lamanya, kemudian ikut dalam jaringan sejak 2001, yang oleh polisi disebut Jamaah Islamiyah (JI). Menurut berita acara pemeriksaan di tangan polisi, Tamim menjadi Ketua Askari Wakalah JI Jakarta. Ketua Wakalah Jakarta dijabat Samian alias Zaid alias Abdullah, yang kini juga ditahan polisi.

Organisasi JI itu, kata polisi, terdiri dari beberapa jabatan. Di level puncak ada markaziah , membawahkan empat mantiqi , yang masing-masing punya beberapa wakalah . Di bawahnya ada kathibah . Di bawah kathibah ada qirdas , dan paling bawah disebut fiah.

Di luar itu, ada jabatan khusus yang berkaitan dengan sayap militer yang disebut askari. Jabatan askari ini ada di tingkat mantiqi hingga wakalah . "Saya menjadi askari di tingkat Wakalah Jakarta," kata Tamim kepada polisi yang menyidiknya.

Tamim ditangkap polisi dengan tuduhan melakukan tindak pidana terorisme, dengan menyembunyikan informasi, melindungi, serta memberikan kemudahan bagi pelaku tindak pidana terorisme pemboman Bali . Ia dikenai pasal pidana terorisme.

Pencidukan Tamim membuat Supratiwi tertekan. Tetangga yang semula ramah, penuh kekeluargaan, mulai menjauh. Ia sering menerima telepon gelap di sekolah tempatnya mengajar, yang mengatakan suaminya teroris. "Penelepon itu bilang agar sekolah ini hati-hati karena ada istri teroris mengajar di sini," kata Supratiwi kepada Astari Yanuarti dari GATRA.

Selama suaminya ditahan, Supratiwi tiga kali menengoknya. Pada kunjungan pertama, perempuan 31 tahun ini melihat suaminya tertekan. ''Abi, antum di sini disiksa nggak ? Dia bilang ya, dan saya marah-marah kepada polisi," katanya. Kondisi Tamim makin buruk saat datang pada kali kedua. ''Ia seperti bukan suami yang saya kenal selama ini," katanya. Tamim seperti depresi.

Toh, situasinya cepat berubah. Ketika berkunjung ketiga kalinya, Supratiwi melihat kondisi suaminya membaik. "Ia tampak lebih sehat dan bisa diajak ngobrol," ujar Supratiwi, sambil menghela napas panjang. Sebenarnya, menurut dia, suaminya sudah menyiapkan diri bila terjadi sesuatu.

''Sebelum menikah, saya sudah siap menghadapi risiko sebagai istri da'i. Kami siap apa pun yang terjadi," katanya. Toh, ketika nasib apes menimpa, Supratiwi merasa terpukul. "Saya berusaha tabah agar bisa membesarkan anak kami," katanya. Yang dikhawatirkannya justru kondisi suaminya. "Kalau diperiksa dengan cara keras, ia bisa linglung lagi," ujarnya.

Kemungkinan Tamim kembali linglung bisa terjadi. Ia bisa menderita stres pasca-trauma. ''Mentalnya bisa terganggu,'' kata Prof. Dr. Dadang Hawari, psikolog dari Universitas Indonesia . Gangguan ini sebagai akibat adanya perlakuan yang kelewat batas. "Bisa saja dia diinterogasi dari pagi terus-menerus sehingga transmisi saraf otaknya error ,'' kata Dadang Hawari kepada GATRA.

''Trauma itu bisa disembuhkan asal berobat ke psikiater," kata Dadang Hawari lagi. Ia sering menerima pasien dengan jenis "kelainan" itu. Yang justru lebih mengkhawatirkan, katanya, adalah stigma yang akan diterima keluarganya, seperti Supratiwi yang diteror sebagai istri teroris.

Mahendradata, pengacara dari Tim Pembela Muslim, menyadari adanya kemungkinan seperti itu. ''Jangan sampai keluarga yang tidak tahu-menahu menerima dampaknya,'' katanya kepada Rini Sulistyowati dari GATRA . Stempel keluarga teroris bisa menimbulkan komplikasi baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar