Sinarharapan.co.id
Menelusuri Halusinasi Penderita Schizophrenia 
SEDIKIT orang tahu bahwa John Forbes Nash Jr., peraih hadiah Nobel  bidang Ekonomi tahun 1994, adalah seorang penderita schizophrenia,  sampai kemudian sebuah film yang digarap apik oleh sutradara Hollywood  Ron Howard membeberkan kisah hidupnya dalam film A Beatiful Mind. Di  film yang dibintangi Russell Crowe tersebut, sosok John Nash mengundang  banyak simpati. Tapi di Indonesia, penderita schizophrenia masih kurang  mendapatkan tempat. Padahal penyakit ini bisa disembuhkan.
Schizophrenia merupakan penyakit otak yang sanggup merusak dan  menghancurkan emosi. Selain karena faktor genetik, penyakit ini juga  bisa muncul akibat tekanan tinggi di sekelilingnya. Menurut psikolog  Prof. Dr. Dadang Hawari, jumlah penderita schizophrenia di Indonesia  adalah tiga sampai lima per 1000 penduduk. Mayoritas penderita berada di  kota besar. Ini terkait dengan tingginya stress yang muncul di daerah  perkotaan.
Schizophrenia memiliki basis biologis, seperti halnya  penyakit kanker dan diabetes. Penyakit ini diyakini muncul karena  ketidakseimbangan yang terjadi pada dopamine, yakni salah satu sel kimia  dalam otak (neurotransmitter). Otak sendiri terbentuk dari sel saraf  yang disebut neuron dan kimia yang disebut neurotransmitter. Penelitian  terbaru bahkan menunjukkan serotonin, jenis neurotransmitter yang lain,  juga berperan dalam menimbulkan gejala schizophrenia.
Dadang mengakui bahwa schizophrenia dapat dipicu dari  faktor genetik. Namun jika lingkungan sosial mendukung seseorang menjadi  pribadi yang terbuka maka sebenarnya faktor genetika ini bisa  diabaikan. ”Gejala schizophrenia bahkan bisa tidak muncul sama sekali,”  ujar Dadang dalam wawancara dengan SH baru-baru ini.
Namun jika kondisi lingkungan malahan mendukung seseorang  bersikap a-sosial maka penyakit schizophrenia menemukan lahan suburnya.  Pendapat Dadang ini sedikit berbeda dengan data yang dikeluarkan pusat  informasi schizophrenia yang beralamat di www.schizophrenia.com. Data  tersebut menyebutkan bahwa schizophrenia sama sekali penyakit yang  memiliki landasan biologis dan tidak terkait dengan kesalahan pola asuh  atau kelemahan kepribadian seseorang.
Namun lepas dari perbedaan tersebut, penyakit  schizophrenia memiliki gejala yang serupa. Menurut Dadang, ada dua  gejala yang menyertai schizophrenia yakni gejala negatif dan gejala  positif. Gejala negatif berupa tindakan yang tidak membawa dampak  merugikan bagi lingkungannya, seperti mengurung diri di kamar, melamun,  menarik diri dari pergaulan, dan sebagainya. Sementara gejala positif  adalah tindakan yang mulai membawa dampak bagi lingkungannya, seperti  mengamuk dan berteriak-teriak.
Dalam dua gejala ini, penderita mengalami gangguan  berpikir dan sering memiliki khayalan serta halusinasi. Manifestasi dari  khayalan ini adalah mengeluarkan perkataan yang bukan-bukan. Halusinasi  tersebut benar-benar dapat didengar, dilihat, bahkan dirasakan oleh si  penderita.
Seringkali halusinasi mengarahkan tindakan penderita,  memperingatkan tentang suatu bahaya atau memberitahu dia apa yang harus  dilakukan. Bahkan tak jarang si penderita asyik bercakap-cakap dengan  para tokoh yang muncul dalam halusinasi ini.
Menurut Dadang, halusinasi ini merupakan proyeksi dari  pikirannya sendiri. Film A Beatiful Mind menggambarkan dengan cukup apik  bagaimana John Nash berkomunikasi dengan tokoh-tokoh khayalannya seolah  mereka benar-benar nyata. Ia bahkan meyakini dirinya terlibat dalam  sebuah konspirasi militer tingkat tinggi.
Para penderita schizophrenia sangat yakin bahwa apa yang  ia dengar dan lihat juga didengar dan dilihat oleh lingkungan  sekelilingnya. Keyakinan ini, menurut Dadang, kadang menjadi kendala  bagi penyembuhannya. Karena jika si penderita masih meyakini  halusinasinya maka ia tetap menganggap dirinya waras.
Schizophrenia dapat menimpa siapa pun, terutama orang yang  memiliki keturunan secara genetis. Episode kegilaan pertama umumnya  terjadi pada akhir masa remaja dan awal masa dewasa.
Pada anak yang kedua orang tuanya tidak menderita  schizophrenia, kemungkinan terkena penyakit ini adalah satu persen.  Sementara pada anak yang salah satu orang tuanya menderita  schizophrenia, kemungkinan terkena adalah 13 persen. Dan jika kedua  orang tua menderita schizophrenia maka risiko terkena adalah 35 persen.
Data yang ditunjukkan pusat data schizophrenia AS, tiga  perempat penderita schizophrenia berusia 16-25 tahun. Data ini memiliki  kesamaan dengan pernyataan Dadang yang mengatakan bahwa schizophrenia di  Indonesia umumnya menyerang remaja.
Pada kelompok usia  16-25 tahun, schizophrenia mempengaruhi lebih banyak laki-laki  dibanding perempuan. Pada kelompok usia 25-30 tahun, penyakit ini lebih  banyak menyerang perempuan dibanding laki-laki. 
Terapi
Sejak tahun 1950-an sudah ditemukan obat bagi penderita  schizophrenia. Obat yang disebut neuroleptics ini mampu mengurangi  gejala kegilaan yang muncul pada penderita schizophrenia. Menurut  Dadang, obat schizophrenia versi lama hanya menyembuhkan gejala positif  schizophrenia, seperti gampang mengamuk dan gemar berteriak-teriak.  Sayangnya, obat tersebut tidak menyembuhkan gejala negatif  schizophrenia. Penderita schizophrenia yang mengonsumsi obat versi lama  masih sering tampak bengong dan gemar melamun.
Sementara obat schizophrenia versi baru, menurut pengakuan  Dadang, berhasil menyembuhkan gejala negatif sekaligus positif.  Persoalannya, obat yang harus dikonsumsi satu kali sehari tersebut  dijual dengan harga 50 ribu rupiah per bijinya. Padahal, penderita  schizophrenia harus mengonsumsi obat tersebut antara tiga sampai enam  bulan. ”Tergantung pada penyakitnya,” ujar Dadang yang juga telah  menulis buku tentang schizophrenia berjudul ”Pendekatan Holistik Pada  Gangguan Jiwa Schizophrenia”.
Selain terapi obat, penderita schizophrenia juga  mendapatkan terapi konsultasi. Melalui konsultasi, maka pasien bisa  dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan lingkungannya. Keluarga dan  kawan merupakan pihak yang juga sangat berperan dalam membantu pasien  bersosialisasi.
Dalam kasus schizophrenia akut, pasien harus mendapat  terapi khusus dari rumah sakit. Kalau perlu, ia harus tinggal di rumah  sakit tersebut untuk beberapa lama sehingga dokter dapat melakukan  kontrol dengan teratur dan memastikan keamanan penderita.
Tapi sebenarnya, yang paling penting, adalah dukungan dari  keluarga penderita. Karena jika dukungan ini tidak diperoleh, bukan  tidak mungkin para penderita mengalami halusinasi kembali. Menurut  Dadang, sejumlah penderita schizophrenia juga sering kambuh meski telah  menyelesaikan terapi selama enam bulan. Karena itu, agar halusinasi ini  tidak muncul lagi, maka penderita harus terus menerus diajak  berkomunikasi dengan realitas.
Masih ingat wajah lega Jennifer Connelly, yang memerankan Alicia Nash  dalam A Beatiful Mind, saat menyaksikan sang suami bisa berdiskusi asyik  dengan para mahasiswa di kampusnya? John Nash membuktikan kepada dunia  bahwa penderita schizophrenia bisa disembuhkan. Meski halusinasi itu  masih sering melintas dalam batok kepalanya, tapi toh, berkat bantuan  istri dan kawan-kawan dekatnya, Nash berhasil mengabaikan halusinasi  tersebut. (san)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar