Senin, 11 Oktober 2010

Merintis Kajian Psikologis


Merintis Kajian Psikologi

PARA SUFI DAN FILSUF
MEMBERI
SUMBANGSH DALAM
PERKEMBANGAN PSIKOLOGI.

Oleh: Yusuf Assidiq

RAHASIA jiwa mengantarkan manusia kepada sebuah pengetahuan. Minat besar terhadap jiwa juga berkembang di dunia Islam. Yang pada akhirnya, ilmu tersebut popular dengan nama psikologi, yang berasal dari bahas Yunani. Psikologi bermakna ilmu yang mempelajari tentang jiwa.

Ilmu ini terus mengalami perkembangan. Salah satu penyebabnya adalah para cendikiawan Muslim yang memandang psikologi atau ilm an-nafsiat sebagai disiplin ilmu yang penting. Bahkan, mereka melangkah lebih jauh dengan mengembangkan pengetahuan tentang pengobatan penyakit jiwa.

Tokoh Muslim legendaris Al Kindi dikenal sebagai psikolog muslim pertama. Sedangkan, At Tabari merupakan sosok yang merintis penerapan psikoterapi. Bahkan, langkah At Tabari ini diiringi dengan pembukaanb fasilitas di rumah sakit yang menangani psikoterapi. Selanjutnya, keberadaan fasilitas itu menjadi model.

Literatur psikologi Islam mengistilahkan jiwa dengan an-nafs atau ar ruh. Kajian ini juga mencakup hal yang berkaitan dengan intelektual (al-aql), hati (qalb), serta kehendak (iradah). Semua itu dianggap sebagai aspek utama pada perilaku kejiwaan manusia dalam membentuk kualitas diri demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Berbeda dengan cendikiawan Barat, konsep psikologi Islam sangat menekankan hakikat ilahiyah. Seluruh unsur kejiwaan, seperti moral, fitrah, dan spiritualitas, harus berada pada koridor nilai-nilai al Quran dan Sunah Nabi Muhammad SAW.

Calvin S Hall dan Gardner Lindzey dalam bukunya Teori-teori Psikodinamik mengatakan, berpijak pada hal-hal yang disebutkan di atas, sumbangsih para sufi tak bisa dinafikan dalam pengembangan psikologi di kalangan umat Islam. Dalam beberapa hal, mereka telah bertindak sebagai psikolog terapan.

Hal dan Lindzey melihat adanya benang merah antara tasawuf dan psikologi. “Tasawuf merupakan dimensi esoteris, atau batiniah dalam Islam, yang mengurai struktur jiwa, penyakit jiwa, dan terapinya, serta proses penyucian jiwa dan cara menjaga kesehatan mental,” papar mereka.

Dalam pemikiran psikologi yang berkembang di antara kaum sufi, dinyatakan bahwa an-nafs berada pada tingkatan paling dasar dalam diri manusia. Di atasnya terdapat qalb serta ar-ruh. Ketiganya adalah pondasi mental spiritual. Tokoh sufi terkemuka yang berkontribusi dalam psikologi adalah Ja`far as-Sadiq (702-765).

Nama lengkapnya ialah Ja`far bin Muhammad as-Sadiq. Dia lahir di Madinah, dan sangat dihormati oleh semua kalangan. Kepakarannya mencakup berbagai disiplin ilmu, mulai dari ilmu agama seperti al Quran, hadits, serta ilmu sains, misalnya matematika, filsafat, astronomi, kedokteran, dan kimia.

Ia memandang bahwa nafs bisa menghadirkan sifat zalim. Sedangkan, qalb mengarah pada unsur moderat atau muqtasid, dan ar-ruh mengacu pada Sang Mahakuasa (Sabiq). As Sadiq menjelaskan, sifat zalim membuat seseorang menyembah Tuhan demi kepentingan sendiri. Melalui unsur muqtasid, seseorang mencintai Tuhan dengan hati.

Sementara itu, keberadaan sabiq membimbing orang untuk mencurahkan seluruh hidupnya untuk Tuhan. Konsep yang diletakkan Sadiq, diikuti oleh al-Bistami, Hakim, at-Tirmidzi, dan Ibnu Junayd. Psikolog lainnya, al-Kharraz, lantas menambahkan elemen baru, yakni tab`, atau fungsi alamiah manusia.

Kaum sufi sering menyertakan pula aspek sirr, bagian dari jiwa yang berisi pengalaman ruhaniah. Di sisi lain, as-Sadiq menuturkan bahwa aql merupakan benteng dari penyimpangan nafs dan qalb. Dengan benteng ini, insting rendah manusia tak akan mampu mengganggu kemurnian jiwa.

Para filsuf Muslim pun terjun dalam pemikiran psikologi. Mereka tentu memiliki cara pandangnya sendiri. Dalam karyanya, mereka menuliskan metode terapi kejiwaan dan mental. Al Kindi, figur yang menguasai beragam ilmu pengetahuan, merupakan salah satu faktor penting yang mengembangkan psikologi di kalangan filsuf.

Karya fenomenalnya berjudul First Philoshopy berisi telaah tentang penyebab gangguan jiwa, antara lain rasa sedih dan putus asa. Tetapi, dia berpendapat masalah kejiwaan itu dapat dipulihkan kembali melalui metode terapi yang tepat. Dia juga menggarisbawahi bahwa gangguan jiwa bisa dialami siapapun.

Ikhwan as-Safa, kelompok persaudaraan para filsuf dan pemikir yang ada pada abad ke-10, juga membicarakan jiwa, otak, dan pikiran. Mereka mempunyai pandangan berbeda dengan filsuf Yunani kuno, Aristoteles, yang menempatkan hati sebagai organ manusia paling utama.

Ikhwan as-Safa memandang, otaklah yang merupakan organ paling vital. Sebab, otak bertanggung jawab atas berfungsinya aspek persepsi maupun pemikiran seseorang. Sementara itu, dokter Muslim bernama an-Naysaburi (wafat 1016 M) menulis buku berjudul Kitab al-Uqala al-Majanin.

Ia mencantumkan istilah mahwus untuk pasien yang mengalami delusinasi dan halusinasi. Ia memaparkan secara filosofis fenomena kemarahan dan kelakukan yang kurang waras. Menurut dia, kehidupan adalah semacam percampuran antara unsur yang saling berlawanan, seperti sehat dan penyakit.

Literatur filsafat lain, yakni Tahzib al-Akhlaq, yang disusun Ibnu Miskawayh (941-1030). Ia menuliskan soal ketakutan dan kematian, serta konsep-konsep moral. Termasuk menekankan pada kegiatan filantropis, bisa melalui derma atau menunaikan kewajiban zakat untuk membersihkan harta.

Begitu pula cendikiawan legendaris al-Ghazali (1058-1111), yang berbicara mengenai hakikat diri serta penyebab penderitaan atau kebahagiaan. Dia memaparkan istilah qalb (hati), ruh, nafs (jiwa), dan aql (intelektualitas). Al-Ghazali yang di dunia Barat dikenal dengan nama Algazel berkata, ada dua jenis penyakit, yakni fisik dan spiritual.

Penyakit spiritual dinilai paling berbahaya karena bisa menjauhkan seseorang dari Sang Pencipta. Untuk mengenai penyakit ini, al-Ghazali mengajukan konsep terapi berlawanan, misalnya, ketidakacuhan dengan pengajaran atau benci dengan cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar