Kembali ke Kotak Pasir
Oleh: Sawitri Supardi Sadarjoen (Psikolog)
Saya mendengar cerita tentang anak-anak yang bermain pasir  dalam kotak. Ada dua anak yang masing-masing membawa ember kecil dan  sendok kecil bermain bersama. Salah seorang anak berteriak, menangis,  dan lari keluar kotak.
“Saya benci kamu. Saya tidak mau main lagi dengan kamu. Kamu nakal.”
Namun, beberapa menit kemudian anak yang lari keluar kotak  tersebut kembali ke kotak dan dengan tenangnya berbaikan dan asyik  bermain berdua kembali.
Dekat dengan anak-anak yang sedang bermain tersebut, duduk  dua orang dewasa. Yang satu mengatakan, “Apakah kau memerhatikan kedua  anak tersebut?” Katanya dengan air muka menunjukkan kekaguman.
“Bagaimana bisa, ya, anak-anak seperti itu. Mereka adalah dua anak yang bermusuhan 5 menit lalu,” jawab orang dewasa yang lain.
“Sebenarnya sederhana. Anak-anak memilih kebahagiaan  daripada memikirkan berlama-lama, apakah temannya melakukan tindakan  benar atau salah,” demikian jawab temannya.
Kehidupan Dewasa
Orang dewasa memiliki kesulitan luar biasa untuk lepas dari perasaan  marah, kepahitan, dan terluka. Walaupun sebenarnya kita semua tahu bahwa  hidup sangat singkat, tetapi kita tidak memedulikannya dan kita tidak  mungkin memilih kembali ke kotak pasir dalam waktu yang singkat, sampai  akhirnya salah satu dari pasangan yang bertikai mau memulai dan mengakui  kesalahannya.
Ternyata kebutuhan orang dewasa untuk menyeimbangkan  posisi dalam kebersamaan dengan orang lain begitu kuat dan hal itu  justru membuat kita terpaku oleh perasaan negatif, padahal perasaan  negatif tersebut harus dibayar dengan mengorbankan kebahagiaan dan  kenyamanan perasaan kita sendiri.
Pada dasarnya begitu banyak penderitaan yang dapat kita  hindari apabila kita dapat meniru perilaku kedua anak tersebut. Kita  dapat bangkit, bersinar kembali, dan membiarkan banyak hal berlalu.
“Saya kembali tenang dan nyaman saat suami saya mengetok  kamar kerja saya di rumah. Ia memeluk saya sambil mengatakan, saya  sayang sama kamu, di tengah pertengkaran sengit di antara kita. Suami  kemudian berkata, `Sudahlah, apa yang kita pertengkarkan sebenarnya  suatu hal yang tidak penting, lebih baik kita lupakan saja.`”
“Seperti kedua anak dalam kotak pasir tersebut, kita kembali melakukan hal-hal yang menyenangkan…,” demikian Harriet L. (2001).
Tentu saja, kehidupan dewasa tidak selalu sesederhana itu.  Beberapa masalah perlu ditinjau ulang, dan tidak dibiarkan begitu saja,  tetapi dibutuhkan waktu untuk berproses melalui diskusi/bicara bersama.  Kita membutuhkan kata-kata untuk mulai menyembuhkan perasaan sakit hati  oleh pengkhianatan, ketidaksamaan persepsi tentang sesuatu hal dan  relasi yang rusak olehnya.
Kebutuhan kita akan bahasa, percakapan, dan definisi tetap  melandasi keinginan kita agar segala sesuatu berdiri tegak di atas  kebenaran. Melalui kata-kata, kita dapat memahami orang lain dan kita  pun dipahami orang lain. Pengetahuan akan diri masing-masing ada dalam  hati kita yang paling dalam demi keintiman relasi dengan orang lain.
Bagaimana relasi dijalin dengan orang yang paling bermakna dalam  kehidupan kita tergantung dari keberanian dan kejelasan dalam menemukan  suara hati kita sendiri. Begitu pula halnya dengan seberapa besar  kemungkinan kita mampu menangkap relasi kita dengan diri kita sendiri.  Bahkan, saat kita merasa tidak didengar sekalipun, kita mungkin masih  tetap butuh untuk memahami suara hati kita sendiri yang mengatakan  dengan keras, apa yang sebenarnya kita pikirkan dan kita rasakan.
Suara hati
Tantangan kita sebagai orang dewasa adalah mengembangkan suara hati  kita yang kuat tentang keunikan diri kita sendiri, suara yang  merefleksikan nilai-nilai dan pendirian kita. Serentak kita nyaman  dengan suara kita sendiri, kita dapat membawanya ke dalam relasi yang  paling bermakna bagi diri kita. Kita dapat memilih untuk pindah ke pusat  percakapan yang sulit atau kita dapat melanjutkan saja relasi yang  sudah terjalin.
Kita dapat berbicara dan menentukan kapan sebaiknya kita  berhenti bicara. Apa pun yang kita pilih, sebenarnya sebagai orang  dewasa kita pun dapat kembali ke kotak pasir dengan kejelasan,  kebijaksanaan, dan tujuan yang telah kita tentukan.
Dengan demikian, kita dapat menguatkan SELF (diri) dan  hubungan kita dengan orang lain serta mendapat kesempatan terbaik untuk  meraih kebahagiaan, dalam kebersamaan kita dengan siapa pun yang  bermakna bagi kita.
Pelatihan asertif, pelatihan komunikasi, bahkan semedi di puncak  gunung yang sepi atau kontemplasi diri dalam kesunyian adalah tidak  cukup karena apa pun yang kita jalani, tidak mencegah kemungkinan kita  untuk tersulut rasa marah dan frustasi. Yang terpenting adalah meraih  suara hati otentik melalui relasi yang intim dengan orang lain.  Otentisitas suara hati kita membuat kita mampu menempatkan posisi diri  dan orang lain secara pas dan tepat. Memiliki suara hati yang otentik,  menurut Harriet L, berarti,
-          Kita dapat secara terbuka berbagi kompetensi, masalah, dan  kepekaan kita, kita dapat meredam kemarahan dan membuat situasi tenang  kembali.
-          Kita dapat menyatakan pikiran dan perasaan dan memberi kesempatan kepada orang lain melakukan hak yang sama.
-          Kita dapat mendefinisikan nilai, keyakinan, prinsip hidup  yang kita anut, dan bersikap sesuai dengan definisi tersebut.
-          Kita dapat mendefinisikan apa yang kita rasakan dalam  relasi yang terjalin dan menjelaskan batas-batas toleransi dalam  menerima perilaku orang lain.
-          Kita dapat pergi, tentu saja apabila perlu.
Nah, timbul pertanyaan, jelaskah posisi kita dalam kebersamaan kita dengan orang yang bermakna bagi diri kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar