Senin, 17 Januari 2011

Kembali ke Kotak Pasir

Kembali ke Kotak Pasir

Oleh: Sawitri Supardi Sadarjoen (Psikolog)

Saya mendengar cerita tentang anak-anak yang bermain pasir dalam kotak. Ada dua anak yang masing-masing membawa ember kecil dan sendok kecil bermain bersama. Salah seorang anak berteriak, menangis, dan lari keluar kotak.

“Saya benci kamu. Saya tidak mau main lagi dengan kamu. Kamu nakal.”

Namun, beberapa menit kemudian anak yang lari keluar kotak tersebut kembali ke kotak dan dengan tenangnya berbaikan dan asyik bermain berdua kembali.

Dekat dengan anak-anak yang sedang bermain tersebut, duduk dua orang dewasa. Yang satu mengatakan, “Apakah kau memerhatikan kedua anak tersebut?” Katanya dengan air muka menunjukkan kekaguman.
“Bagaimana bisa, ya, anak-anak seperti itu. Mereka adalah dua anak yang bermusuhan 5 menit lalu,” jawab orang dewasa yang lain.

“Sebenarnya sederhana. Anak-anak memilih kebahagiaan daripada memikirkan berlama-lama, apakah temannya melakukan tindakan benar atau salah,” demikian jawab temannya.

Kehidupan Dewasa
Orang dewasa memiliki kesulitan luar biasa untuk lepas dari perasaan marah, kepahitan, dan terluka. Walaupun sebenarnya kita semua tahu bahwa hidup sangat singkat, tetapi kita tidak memedulikannya dan kita tidak mungkin memilih kembali ke kotak pasir dalam waktu yang singkat, sampai akhirnya salah satu dari pasangan yang bertikai mau memulai dan mengakui kesalahannya.

Ternyata kebutuhan orang dewasa untuk menyeimbangkan posisi dalam kebersamaan dengan orang lain begitu kuat dan hal itu justru membuat kita terpaku oleh perasaan negatif, padahal perasaan negatif tersebut harus dibayar dengan mengorbankan kebahagiaan dan kenyamanan perasaan kita sendiri.

Pada dasarnya begitu banyak penderitaan yang dapat kita hindari apabila kita dapat meniru perilaku kedua anak tersebut. Kita dapat bangkit, bersinar kembali, dan membiarkan banyak hal berlalu.

“Saya kembali tenang dan nyaman saat suami saya mengetok kamar kerja saya di rumah. Ia memeluk saya sambil mengatakan, saya sayang sama kamu, di tengah pertengkaran sengit di antara kita. Suami kemudian berkata, `Sudahlah, apa yang kita pertengkarkan sebenarnya suatu hal yang tidak penting, lebih baik kita lupakan saja.`”

“Seperti kedua anak dalam kotak pasir tersebut, kita kembali melakukan hal-hal yang menyenangkan…,” demikian Harriet L. (2001).

Tentu saja, kehidupan dewasa tidak selalu sesederhana itu. Beberapa masalah perlu ditinjau ulang, dan tidak dibiarkan begitu saja, tetapi dibutuhkan waktu untuk berproses melalui diskusi/bicara bersama. Kita membutuhkan kata-kata untuk mulai menyembuhkan perasaan sakit hati oleh pengkhianatan, ketidaksamaan persepsi tentang sesuatu hal dan relasi yang rusak olehnya.

Kebutuhan kita akan bahasa, percakapan, dan definisi tetap melandasi keinginan kita agar segala sesuatu berdiri tegak di atas kebenaran. Melalui kata-kata, kita dapat memahami orang lain dan kita pun dipahami orang lain. Pengetahuan akan diri masing-masing ada dalam hati kita yang paling dalam demi keintiman relasi dengan orang lain.

Bagaimana relasi dijalin dengan orang yang paling bermakna dalam kehidupan kita tergantung dari keberanian dan kejelasan dalam menemukan suara hati kita sendiri. Begitu pula halnya dengan seberapa besar kemungkinan kita mampu menangkap relasi kita dengan diri kita sendiri. Bahkan, saat kita merasa tidak didengar sekalipun, kita mungkin masih tetap butuh untuk memahami suara hati kita sendiri yang mengatakan dengan keras, apa yang sebenarnya kita pikirkan dan kita rasakan.

Suara hati
Tantangan kita sebagai orang dewasa adalah mengembangkan suara hati kita yang kuat tentang keunikan diri kita sendiri, suara yang merefleksikan nilai-nilai dan pendirian kita. Serentak kita nyaman dengan suara kita sendiri, kita dapat membawanya ke dalam relasi yang paling bermakna bagi diri kita. Kita dapat memilih untuk pindah ke pusat percakapan yang sulit atau kita dapat melanjutkan saja relasi yang sudah terjalin.

Kita dapat berbicara dan menentukan kapan sebaiknya kita berhenti bicara. Apa pun yang kita pilih, sebenarnya sebagai orang dewasa kita pun dapat kembali ke kotak pasir dengan kejelasan, kebijaksanaan, dan tujuan yang telah kita tentukan.

Dengan demikian, kita dapat menguatkan SELF (diri) dan hubungan kita dengan orang lain serta mendapat kesempatan terbaik untuk meraih kebahagiaan, dalam kebersamaan kita dengan siapa pun yang bermakna bagi kita.

Pelatihan asertif, pelatihan komunikasi, bahkan semedi di puncak gunung yang sepi atau kontemplasi diri dalam kesunyian adalah tidak cukup karena apa pun yang kita jalani, tidak mencegah kemungkinan kita untuk tersulut rasa marah dan frustasi. Yang terpenting adalah meraih suara hati otentik melalui relasi yang intim dengan orang lain. Otentisitas suara hati kita membuat kita mampu menempatkan posisi diri dan orang lain secara pas dan tepat. Memiliki suara hati yang otentik, menurut Harriet L, berarti,
-          Kita dapat secara terbuka berbagi kompetensi, masalah, dan kepekaan kita, kita dapat meredam kemarahan dan membuat situasi tenang kembali.
-          Kita dapat menyatakan pikiran dan perasaan dan memberi kesempatan kepada orang lain melakukan hak yang sama.
-          Kita dapat mendefinisikan nilai, keyakinan, prinsip hidup yang kita anut, dan bersikap sesuai dengan definisi tersebut.
-          Kita dapat mendefinisikan apa yang kita rasakan dalam relasi yang terjalin dan menjelaskan batas-batas toleransi dalam menerima perilaku orang lain.
-          Kita dapat pergi, tentu saja apabila perlu.

Nah, timbul pertanyaan, jelaskah posisi kita dalam kebersamaan kita dengan orang yang bermakna bagi diri kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar