Pola Asuh dan Pola Kepemimpinan Orang Tua Menentukan Prestasi Anak
Written By: Bang Deny on 15 Oktober 2010
Seorang anak tentunya tidak langsung dapat mengenal alam sekitar  mengerti dan memahami segalanya dengan sendirinya, melainkan dibutuhkan  pendidikan keluarga, pendidikan kelembagaan dan pendidikan di  masyarakat. Keluarga sebagai komunitas pertama memiliki peran penting  dalam pembangunan mental dan karakteristik sang anak. Di dalam keluarga,  anak belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Interaksi yang  terjadi bersifat dekat dan intim, segala sesuatu yang diperbuat anak  mempengaruhi keluarganya, dan sebaliknya apa yang didapati anak dari  keluarganya akan mempengaruhi perkembangan jiwa, tingkah laku, cara  pandang dan emosinya. Dengan demikian pola asuh yang diterapkan orang  tua dalam keluarganya memegang peranan penting bagi proses interaksi  anak di lingkungan masyarakat kelak.
“Kehidupan keluarga yang senantiasa dibingkai dengan lembutnya cinta  kasih dan nuansa yang islami, dari sana akan hadirlah individi-individu  dengan tumbuh kembang yang wajar sebagaimana diharapkan. Sebaliknya  keluarga yang dinding kehidupannya dipahat dengan sentakan-sentakan, broken home, broken heart,  perlakuan sadis dan kekejaman tercerai berainya benang-benang kasih  sayang dan jalinan cinta, maka keluarga beginilah yang bakal alias cikal  bakal menjadi suplayer limbah-limbah kehidupan sosial dan sampah-sampah  masyarakat yang menyedihkan.[1]
Tidak dapat dipungkiri, jika dasar pendidikan yang menjadi landasan  dan tongkat estafet pendidikan anak selanjutnya adalah pendidikan  keluarga. Apabila pondasi pendidikan dibangun dengan kuat maka  pembangunan pendidikan selanjutnya akan mudah dan berhasil dengan baik,  sebaliknya jika pondasi pendidikan lemah dan berantakan, sulit kiranya  membangun pendidikan selanjutnya.
Gilbert Highest dalam Jalaludin mengatakan bahwa: kebiasaan yang  dimiliki anak-anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga.  Sejak dari bangun tidur hingga ke saat akan tidur kembali, anak-anak   menerima pengaruh dan pendidikan  dari lingkungan keluarga (Gilbert  Highest, 1961: 78).[2]
Dari apa yang diungkapkan Gilbert, kita dapat mengetahui memang  pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah dari keluarga,  bagaimana orang tua berprilaku akan selalu menjadi perhatian anak, dan  akan ditanamkan di benaknya. Anak lahir berdasarkan fitrahnya. Jika  pendidikan yang baik diterapkan orang tuanya maka banyak hal baik yang  dapat ditiru anak tersebut dalam prilakunya. Lain halnya dengan anak  yang dididik dengan cemoohan dan ejekan dari setiap kegagalan yang ia  dapati, maka anak tersebut akan selalu hidup dalam ketakutan dan  kegelisahan disebabkan hasil perbuatannya yang tidak memuaskan orang  tuanya.
Dalam keluarga, seorang anak akan mendapati hal-hal yang tidak  didapati di lingkungan formal maupun lingkungan masyarakat, seperti  perhatian yang penuh, kasih sayang, belaian hangat kedua orang tua dan  banyak hal lain lagi. Berbeda dengan lingkungan sekolah dan masyarakat,  keluarga menjadi motor penggerak keberhasilan anak dalam mencapai  inspirasi peergaulannya dengan teman-temannya serta lingkungan  masyarakat sekitar. Orang tua yang menanamkan rasa kasih sayang dalam  keluarga akan menimbulkan keharmonisan dalam interaksi dengan sang anak.  Segala permasalahan yang dijumpai anak akan mudah diketahui melalui  pendekatan secara personal.
Seorang anak akan merasa termotivasi jika hasil jerih payah dan  prestasinya dihargai orang tua, sehingga keharmonisan hubungan keduanya  memiliki peranan penting dalam perkembangan anak tersebut dalam  peningkatan prestasi belajar. Akan tetapi terkadang kita jumpai orang  tua yang memaksakan kehendaknya agar anak dapat memenuhi keinginan orang  tuanya itu. Hal ini akan menimbulkan rasa keterpaksaan pada diri anak  baik dalam bidang prestasi, tugas maupun kewajibannya. Rasa keterpaksaan  itu akan mengakibatkan timbulnya rasa malas dan mematikan rasa  kesadaran diri dalam berbuat. Banyak kita dapati seorang anak takut  gagal dalam berprestasi, sebab dampak yang akan didapati dari  kegagalannya berupa hukuman maupun siksaan dari orang tuannya. Bagi  sebagian anak yang tidak mendapatkan perhatian dari orang tuannya,  berprestasi adalah sesuatu hal yang tidak penting baginya sebab segala  tindakan yang ia lakukan tidak pernah dihiraukan oleh orang tuanya,  sehingga berprestasi ataupun tidak merupakan suatu hal yang lumrah dan  biasa saja.
Syamsu Yusuf mengatakan: “Keluarga yang fungsional ditandai oleh  karakteristik:  (a) saling memperhatikan dan menyintai (b) bersikap  terbuka (c) orang tua mau mendengarkan anak, menerima perasaannya dan  menghargai pendapatnya (d) ada “sharing” masalah atau pendapat  diantara anggota keluarga  (e) mampu berjuang mengatasi hidupnya (f)  saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi (g) orang tua  melindungi/mengayomi anak (h) komunikasi antara anggota keluarga  berlangsung dengan baik (i) keluarga memenuhi kebutuhan psikososial anak  dan mewariskan nilai-nilai budaya (j) mampu beradaptasi dengan  perubahan yang terjadi.[3]
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dalam keluarga terjadi  proses interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan  pengasuhan. Proses pengasuhan tersebut seperti mendidik, membimbing dan  mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kematangan sesuai  yang diharapkan. Penggunaan pola asuh tertentu memberikan dampak dalam  mewarnai setiap perkembangan terhadap bentuk-bentuk prilaku tertentu  pada anak, seperti prilaku agresif yang sering terjadi.
Keharmonisan dan rasa demokrasi tidak selalu seperti yang kita  harapkan, hingga saat sekarang ini masih banyak orang tua yang  menerapkan kekerasan dalam mendidik anaknya. Mereka beranggapan  pendidikan yang keras akan dapat mewujudkan keinginan dan harapannya,  seperti prestasi, budi pekerti dan lain-lain. Namun sebaliknya kenyataan  yang kita jumpai justru bertolak belakang dengan harapan-harapan yang  diinginkan. Anak yang dididik keras akan timbul rasa tertekan dan takut,  ada juga anak yang diberi kebebasan sehingga anak tersebut malas dan  enggan untuk mencapai prestasi yang lebih baik, sebab tidak adanya  perhatian dan tanggapan dari orang tuannya atas apa yang yang diraihnya.
Pola Asuh
Pola asuh berasal dari kata pola dan asuh. Dalam kamus besar bahasa  Indonesia  kata pola mempunyai arti gambar yang dipakai untuk contoh  batik; corak batik atau tenun; ragi atau suri; potongan kertas yang  dipakai model; sistem; cara kerja; – permainan – pemerintahan, bentuk  struktur yang tetap- kalimat; dalam puisi, adalah sajak yang dinyatakan  dengan bunyi gerak kata atau arti. Sedangkan Asuh berarti menjaga   merawat dan mendidik anak kecil; membimbing membantu dan melatih, dsb;  memimpin mengepalai, menyelenggarakan suatu badan atau kelembagaan.[4]
Kegiatan pengasuhan banyak diartikan sebagai usaha dalam mendidik  anak. Orang tua sebagai pendidik memilih pola asuh yang sesuai dalam  mempengaruhi perkembangan anak, serta membimbingnya kepada kehidupan  yang layak dan bermartabat. Proses pengasuhan selalu bersifat dinamis  dalam mencari bentuk atau pola asuh yang lebih efektif dan baik. Banyak  para ahli mengemukakan definisi dan bentuk-bentuk pola asuh yang tepat.  Laurrence Steinburg mendefinisikan; Pengasuhan yang baik adalah  pengasuhan yang sesuai dengan kondisi psikologis dengan unsur-unsur  seperti kejujuran, empati, mengendalikan diri sendiri, kebaikan hati,  kerja sama, pengendalian diri, dan kebahagiaan. Pengasuhan yang baik  adalah pengasuhan yang membantu anak berhasil di sekolah, mendukung   perkembangan keingintahuan intelektual, motivasi belajar, dan keinginan  untuk mencapai sesuatu. Pengasuhan yang baik adalah yang menjauhkan anak  dari prilaku anti sosial, melakukan pelanggaran hukum ringan, serta  pemakaian narkoba dan alkohol. Pengasuhan yang baik adalah pengasuhan  yang membantu melindungi anak dari berkembangnya keresahan, depresi,  gangguan makan dan berbagai masalah psikologi lain.[5]
Secara umum dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa  pengasuhan adalah kegiatan dalam rangka mendidik, membimbing,  mengarahkan anak, baik secara fisik maupun mental, keyakinan hidup dan  moral. Dalam hal ini ayah dan ibu memiliki peran sebagai seorang  pendidik dalam lingkungan keluarga dalam upaya mengarahkan anak dalam  prilaku dan norma-norma yang baik.
Tingkah laku orang tua selalu menjadi tolak ukur anak dalam proses  pendidikan dalam keluarga. Anak akan meniru orang tua dalam bersikap dan  berprilaku baik hal tersbut disadari ataupun tidak. Semenjak dilahirkan  ke dunia, anak akan meniru prilaku orang tua dan tak ada yang dapat  dilakukan orang tua untuk mencegah hal tersebut. Kecenderungan seorang  anak menirukan segala sesuatu yang muncul dari prilaku orang tua  disebabkan karena mereka memiliki keinginan yang kuat untuk tumbuh  berkembang menjadi seperti ibu dan ayahnya. Tidak jarang kita jumpai  orang tua  yang melarang anaknya bertindak agresif, namun tidak disadari  orang tua tersebut melakukannya sehingga tidak menutup kemungkinan anak  itu melakukan tindakan yang sama pada teman atau pun keluarga yang  lain.
Tugas mendidik dan mengasuh anak tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan  dalam keluarga, seperti pendidikan ketrampilan, pengetahuan, wawasan dan  pengalaman. Oleh sebab itu keluarga membutuhkan lembaga pendidikan lain  yaitu pendidikan sekolah. Dengan demikian pendidikan di sekolah  merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan keluarga.  Pendidikan di sekolah juga merupakan penghubung antara kehidupan anak  dalam keluarga dan kehidupan di masyarakat.
Akan tetapi masuknya anak ke pendidikan sekolah tidak berarti orang  tua telah selesai dalam pengasuhan, justru sekolah menjadi mitra bagi  orang tua dalam menyikapi permasalahan-permasalahan yang ada seiring  kegiatan pengasuhan tersebut. Orang tua akan menjadi lebih yakin dan  mantap dalam mengikuti perkembangan anaknya. Rasa yang sama juga akan  muncul pada diri anak seiring keikutsertaan orang tua dalam pendidikan  sekolah. Hal penting yang dapat dilihat dari keikutsertaan orang tua  dalam pendidikan sekolah adalah orang tua dapat mengetahui segala bentuk  permasalahan anak di sekolah sehingga dapat bekerjasama  dengan guru  untuk menyelesaikannya.
Keterlibatan orang tua dalam sekolah bukan hanya dengan ikut membantu  anak dalam mengerjakan tugas rumahnya, melainkan lebih pada hubungan  wali siswa-sekolah, baik pada komite sekolah, bimbingan penyuluhan atau  hal-hal yang berkenaan dengan pendidikan anak di sekolah. Perhatian  orang tua terhadap anak dapat diwujudkan dengan membangun kebiasaan  bekerja secara teratur dan disiplin pada setiap tugas dan kewajiban  sebagai seorang siswa.
Adapun dalam lingkungan masyarakat, pergaulan dengan teman-teman  sebaya memiliki pengaruh yang kuat pada prilaku anak. Orang tua  hendaknya dapat memberikan perhatian yang baik pula. Pada masa kecil  orang tua dapat mengatur pergaulan anak dan mengarahkannya kepada  teman-teman yang dianggap baik. Begitu pula pada masa remaja orang tua  dapat mengarahkan agar bergaul dengan anak-anak yang telah jelas  memiliki latar belakang baik dan prilkau yang baik pula.
Adapun pengasuhan orang tua di dalam keluarga ada tiga pola:[6]
1.      Pola Asuh Otoriter
2.      Pola Asuh Permisip
3.      Pola Asuh Demokrasi
Pola Asuh Otoriter (PAO)
Setiap orang tua pastilah menghendaki anaknya menjadi orang yang  berguna dan mencapai kebahagiaan kelak. Akan tetapi dalam mengasuh tidak  jarang kita mendapati orang tua yang mengambil langkah dan sikap yang  otoriter dalam mendidik anaknya. Seringkali orang tua lebih  mengedepankan kuatnya keinginan dan cita-cita agar anak meraih  keberhasilan di masa datang. Mereka selalu berfikir apa yang meraka  lakukan semata-mata demi kebaikan sang anak dan mengesampingkan perasaan  dan kondisi anak tersebut.
Pola asuh otoriter juga sangat berpengaruh pada perkembangan mental  anak. Orang tua memiliki kebutuhan kuat untuk memegang kendali, namun  pada dasarnya sikap otoriter dimaksudkan untuk hal-hal yang baik. Orang  tua tidak menginginkan anaknya mengalami kegagalan, bahaya, ataupun  sesuatu buruk yang menimpanya, namun perkembangan mental anak akan  terganggu, sebagaimana diungkapkan Laurence berikut: “Pada akhirnya  satu-satunya cara agar anak anda bisa benar-benar sehat, bahagia dan  sukses adalah jika anda memberikan kebebasan untuk mencoba dan membuat  keputusannya sendiri meskipun itu membuka kemungkinan dia akan sakit  hati dan kecewa. Pengasuhan yang baik melibatkan keseimbangan antara  keterlibatan dan kemandirian. Jika keduanya dilakukan secara berlebihan-  jika orang tua tidak peduli atau terlalu ikut campur- maka kesehatan  mental akan rusak.[7]
Banyak hal negatif yang akan timbul pada diri anak akibat sikap  otoriter yang diterapkan orang tua, seperti takut, kurang memiliki  keyakinan diri, menjadi pembangkang, penentang ataupun kurang aktif.  Orang tua seperti itu selalu memberikan pengawasan berlebih pada anak  sehingga hal-hal yang kecil pun harus terlaksana sesuai keinginannya.  Disisi lain, orang tua tersebut lebih seperti polisi yang selalu memberi  pengawasan dan aturan-aturan tanpa mau mengerti anak.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa diantara hal-hal negatif yang  akan timbul adalah sikap penentang pada anak. Dari kelompok penentang  dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe.[8]
Pertama, tipe penentang aktif. Mereka menjadi keras kepala,  suka membantah dan membangkang apa saja kehendak orang tua. Mereka marah  karena orang tua tak menghargai dirinya sebagai manusia. Untuk melawan  jelas tak bisa karena sang “polisi” punya kekuatan besar. Maka jalan  yang dipilihnya adalah menyakiti hatinya.
Kedua, tipe pemberontak dengan cara halus, sadar bahwa tubuh  kecilnya tidak mampu menandingi kekuatan “Polisi” yang tak lain orang  tuanya sendiri mereka memilih sikap diam, tapi tidak juga mengikuti  perintah.
Ketiga, tipe selalu terlambat. Anak-anak seperti itu baru  mau mengerjakan suatu perintah setelah terlebih dahulu melihat orang  tuannya jengkel, marah, dan mengomel karena kemalasannya.
Pola Asuh Permisif (PAP)
Orang tua yang baik tentunya tidak pernah bercita-cita menjadikan  anaknya sebagai sampah masyarakat, tidak berguna dan tidak disiplin.  Namun terkadang kita masih mendapati orang tua yang rela membiarkan  anaknya tanpa bimbingan dan arahan. Anak menjadi tak terarah, dan merasa  orang tuanya telah memberikan kebebasan sepenuhnya pada dirinya,  sehingga setiap keputusan yang ia ambil adalah sepenuhnya hak priadi  yang tak seorang pun dapat mencampurinya.
Dalam pendidikan sekolah, pola asuh permisif yang diterapkan orang  tua akan memberi dampak kurangnya prestasi belajar, anak bisa saja  menjadi malas dan tidak peduli dengan hasil belajar yang ia raih  dikarenakan tidak adanya perhatian dari orang tua. Orang tua merasa  tidak mampu memberikan pendidikan dan pengasuhan dengan baik sehingga  menyerahkan sepenuhnya pendidikan kepada sekolah. Mereka melupakan peran  penting dalam keluarga sebagai pendidik, pengasuh, pembimbing, pemberi  motivasi, kasih sayang dan perhatian.
Seorang anak yang berkembang tanpa batasan dan aturan dan perhatian  akan mengalami ketidakjelasan hidup dan hilangnya contoh teladan yang  berakibat pada beralihnya anak kepada lingkungan, teman atau orang-orang  terdekatnya dan menjadikannya figur. Mengenai pola asuh Permisif, Diana  Braumrind dalam Syamsu Yusuf LN, menjelaskan sikap atau prilaku orang  tua sebagai berikut:
1.      Sikap ”Acceptance”nya tinggi, namun kontrolnya rendah
2.      Memberi kebebasan kepada anak untuk menyatakan dorongan/keinginannya
Profil Prilaku Anak:
1.      Bersikap Impulsif dan Agresif
2.      Suka memberontak
3.      Kurang memiliki rasa percaya diri dan pengendalian diri
4.      Suka mendominasi
5.      Tidak jelas arah hidupnya
6.      Prestasinya rendah[9]
Dapat disimpulkan bahwa anak yang mendapati pengasuhan dari orang  tuanya dengan pola asuh permisif akan cinderung bersifat bebas tanpa  aturan, dan memiliki emosi yang tidak stabil dan meledak-ledak,  sedangkan orang tua tidak lagi dianggap sebagai sosok yang memiliki  peran dan tauladan baginya. Ia menganggap bahwa apa yang ia raih adalah  bersumber dari pribadinya dan tidak ada yang dapat memberikan aturan  maupun larangan.
Pola Asuh Demokrasi (PAD)
Hubungan yang terjalin antara orang tua dan anak semestinya didasari  prinsip saling menghormati dan kasih sayang. Apabila orang tua selalu  mengedepankan pendekatan secara personal dengan curahan kasih sayang,  maka akan terbentuklah kepercayaan yang besar dalam diri anak. Anak akan  bersikap terbuka kepada orang tuanya sehingga segala permasalahan dapat  dicari kunci penyelesaianya. Selain itu orang tua lebih mudah memberi  pengarahan dan nasihat serta meninggalkan cara-cara paksaan dan  intimidasi.
Prilaku anak akan terbentuk secara bertahap menuju kepada kepribadian  yang baik. Dorongan yang kuat secara terus-menerus sangat diharapkan  dari orang tua. Sosok orang tua yang demokratis tidak mengedepankan  kepentingan pribadinya, akan tetapi tetap menghargai dan memperhatikan  kepentingan anak sebagai seorang individu diantara komunitas manusia.  Dengan kata lain, orang tua selalu melihat kepentingan bersama sebagai  pembatas dari kebebasan seorang inividu.
Latar belakang pengasuhan yang didapati anak tentulah sangat  berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya, sebab hal-hal yang ia  dapati dari pola pengasuhan orang tuanya akan menjadi bekal sikap dan  prilakunya pada kehidupannya kelak.
Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya  mengembangkan pribadi anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang  dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan baik agama maupun sosial  budaya yang diberikannya merupakan faktor yang kondusif untuk  mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang  sehat.[10]
Jadi, sudah jelas bahwa pola asuh demokrasi sangat memberi dampak  positif pada perkembangan anak. Orang tua dapat mencurahkan kasih sayang  dan perhatiannya kepada anak secara baik dan sepenuhnya tanpa  menggunakan cara-cara pemaksaan dan dan kekerasan. Dalam hal ini, orang  tua harus menguasai komunikasi yang tepat dalam melakukan pendekatan  agar proses pengasuhan dapat berjalan baik dan tidak mempengaruhi mental  maupun perkembangannya.
Pola asuh demokrasi sangat mirip dengan apa yang dijelaskan Diana  Baumrind Western dan Lioyd, 1994: 359-360; Sigelmen dan Sheffer, 1995:  396 mengenai hasil penelitiannya melalui observasi dan wawancara  terhadap siswa taman kanak-kanak. Ia menjelaskan tentang parenting  stayle Pola Asuh, diantara tiga tipe; Authoritarian, Permissive, dan  Authorotative, tipe yang yang sama dengan pola asuh demokrasi adalah  Authoritative. Beberapa sikap yang diambil orang tua dalam mengasuh dan  mendidik anak yaitu:
1.      Sikap “Acceptance” dan kontrolnya tinggi
2.      Bersikap responsive tehadap kebutuhan anak
3.      Mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan
4.      Memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan yang buruk.
Profil Prilaku Anak yang ditimbulkan:
1.      Bersikap bersahabat
2.      Memiliki rasa percaya diri
3.      Mampu mengendalikan diri Self Control
4.      Bersikap Sopan
5.      Mau bekerjasama
6.      Memiliki rasa ingin tahunya yang tinggi
7.      Mempunyai tujuan/arah hidup yang jelas
8.      Berorientasi terhadap prestasi[11]
Dari paparan diatas dapat dilihat bahwa sikap demokratis orang tua  tercermin dari tindakannya mau menghargai pribadi anak, serta menegur  tindakan yang salah dari prilakunya secara baik-baik seperti yang  dikatakan Irawati Istadi: “Harus dibedakan antara pribadi anak dengan  prilaku bisa saja salah, tetapi pribadi anak tetap senantiasa baik.[12]
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan yang dipakai orang tua  dalam pengasuhan sangat memberi dampak pada perkembangan anak, sehingga  pola asuh demokrasi merupakan pola asuh yang baik dalam pengasuhan.
[1] Ahmadi Sofyan, Panduan Mendidik Remaja masa Kini the Best Parents in Islam, (Jakarta: Lintas Pustaka, 2002), h. 75
[2] Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 219
[3] Syansu Yusuf LN, Psikologi perkembangan anak dan remaja, (Bandung: Remaja Rosda karya, 2005), h.25
[4] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 885.
[5] Laurence Steinberg, 10 Basic principles of good parenting. 10 prinsip dasar pengasuhan yang primaagar anda tidak menjadi orang tua yang gagal, Penerjemah, Lovly, (Bandung: Kaifa, 2005), h.24.
[6] Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta: IKIP, 1976), h.123
[7]Laurence Steinberg,  op. Cit., h. 94.
[8] Irawati Istadi, Mendidik dengan Cinta, (Bekasi: Pustaka Inti, 2006), h. 21
[9] Syamsu Yusuf  LN, Op. Cit., h. 52
[10]Syamsu Yusuf  LN, Op. Cit., h. 38
[11] Syamsu Yusuf  LN, Op. Cit., h. 52
[12] Irawati Istadi, op. Cit., h. 61
Tidak ada komentar:
Posting Komentar