|     Pengaruh Lingkungan Terhadap   Perkembangan Mental Anak dari Tinjauan Pembentukan Pola Neurologis Otak   |        |    
 Seminar online KHARISMA Women and   Education bulan Oktober 2009 mengangkat tema “Pengaruh Lingkungan terhadap   perkembangan Mental Anak dari Tinjauan Pembentukan Pola Neurologis Otak".   Nara sumber seminar kali ini adalah Bapak H. Ir. Purwanto Yusdharmanto,   seorang public speaker, trainer dan mentality therapist.   Beliau merupakan pendiri PT. REPS Indonesia, penggagas Deep-Mind Power   Engineering Technique (http://deepmindpower.com/), yang telah berpengalaman   melakukan pelatihan dan terapi untuk perusahaan, keluarga, dan siswa sekolah   menengah. Secara garis besar, manusia, sejak   usia kanak kanak hingga dewasa, selalu berada dalam keadaan mempengaruhi dan   dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Menurut penelitian pakar neurologi   otak, manusia akan senantiasa dibentuk oleh lingkungan atau faktor eksternal   dari luar tubuhnya dalam setiap detik kehidupannya, selama ia masih dapat   bernapas. Pengaruh lingkungan pada anak-anak   sangat luar biasa karena pada masa kanak-kanak dikenal “the golden age"   atau masa keemasan di mana penyerapan hal-hal yang membentuk pola di dalam   otak anak berlangsung sangat cepat dan mudah. Di dalam otak anak terdapat   milyaran sel syaraf, dan pada sel-sel syaraf tersebut akan terbentuk   pola-pola mental dan karakter. Contohnya seorang anak yang memiliki   pengalaman disuntik dengan sedikit dipaksa. Kejadian tersebut meninggalkan   rasa sakit sehingga terekam dan meninggalkan pola asosiasi yang kuat pada   anak, bahwa setiap orang yang berpakaian putih-putih identik dengan suntikan.   Akibatnya dengan hanya melihat orang berpakaian putih-putih seperti dokter,   suster atau orang lain yang mungkin tidak ada hubungannya dengan suntikan dia   sudah merasa ketakutan dan histeris. Sayangnya, orang tua sering mengabaikan   hal-hal yang terlihat sepele semacam ini. Contoh lain pengaruh lingkungan   pada anak bisa dilihat pada cerita Tarzan. Tarzan begitu lihai berjalan,   bercakap dan bertingkah laku seperti kera dan binatang-binatang hutan lainnya.   Hal ini karena setiap waktu dalam sebuah kurun waktu tertentu ia senantiasa   mendapatkan rangsangan-rangsangan dari lingkungan sekitarnya mengenai cara   hidup di hutan. Ternyata saat ia dewasa dan bertemu manusia, baru ia sadari   bahwa sebenarnya bukan seperti itu seharusnya ia berjalan, bercakap, dan   bertingkah laku. Pada orang dewasa, perulangan   kejadian juga bisa menyebabkan terbentuknya pola perilaku. Misalnya orang   yang sebelumnya tidak pernah menggosip, ketika ia mulai menggosip hal ini   akan membentuk pola menggosip di otaknya. Semakin sering ia mencoba   menggosip, pola yang terbentuk akan semakin kuat dan hidup. Menurut dr.   Taufik Bachtiar, pakar neurologi otak Indonesia, ketika kebiasaan sudah   menjadi terlalu sering, maka pola perkembangan otak akan menjadi hidup   seolah-olah dia perlu berkembang, menjadi besar dan mencari sambungan yang   lebih besar lagi. Pada akhirnya otak akan selalu berusaha mencari makanan   untuk pola yang terbentuk ini. Orang yang terbiasa menggosip akan menjadi   pusing ketika lama tidak menggosip. Pusing yang ia rasakan merupakan sinyal   yang dikirim otak untuk mencari makanan, dalam hal ini menggosip.  | |||||
Perulangan kejadian seperti ini   dapat pula menjadi sumber terbentuknya trauma. Misalnya pada si anak   yang takut disuntik, ketika setiap kali disuntik ia selalu dipaksa maka bisa   jadi dia menjadi trauma dengan suntikan. Hal penting yang perlu diingat oleh   orang tua adalah jangan menganggap sepele setiap kejadian yang terjadi pada   anak. Karena banyak trauma yang terjadi pada orang dewasa ternyata disebabkan   oleh kejadian saat ia masih kecil. Semua hal yang terekam oleh hati dan panca   indera kita, apa yang kita ingat, lihat, dengar dan rasakan sebenarnya tidak   pernah hilang dari otak kita. Saat kita mengalami trauma dan kemudian   menjalani terapi untuk menghilangkannya, pada dasarnya yang dihilangkan   adalah intensitas rasa takutnya. Namun ingatan kita akan hal yang pernah   terjadi akan tetap tinggal di dalam mental dan jiwa kita. Ada kasus seorang ibu yang sering   merasa kurang percaya diri. Rasa kurang percaya diri ini pada akhirnya sering   menimbulkan masalah dalam pekerjaannya. Pak Purwanto, narasumber kita kali   ini, kemudian berusaha menggali penyebab dari masalah ini. Singkat cerita,   ditemukanlah sumbernya, sebuah kejadian di masa lalu ibu tersebut. Pada saat   SD dan SMP beliau selalu berprestasi dan membanggakan kedua orang tuanya.   Tiba saatnya masuk SMA, orang tuanya memaksa beliau untuk masuk sebuah SMA   elite pilihan orang tuanya. Sang ibu yang mendapati dirinya berasal dari   keluarga biasa-biasa saja dihadapkan pada kondisi teman-temannya yang   berbeda, misalnya pergi ke sekolah selalu diantar mobil pribadi. Hal ini   menyebabkan beliau merasa minder yang pada akhirnya menghambat prestasi   beliau di SMA dan universitas. Selain dipengaruhi, mental anak   juga bisa mempengaruhi lingkungannya (orang tua, suasana dan kondisi   rumah). Kedua hal ini bisa dianalogikan seperti ayam dan telurnya, tidak   jelas yang mana muncul lebih dulu dan saling mempengaruhi satu sama lain.   Contohnya anak yang takut disuntik tadi. Trauma si anak bisa mempengaruhi   sikap kedua orang tuanya. Mereka misalnya menjadi over protective terhadap si   anak. Selanjutnya, sikap over protective ini pun akan balik mempengaruhi anak   tersebut menjadi anak yang tidak mandiri. Yang paling baik dalam situasi   seperti ini adalah orang tua mencoba melakukan penyelarasan dan membangun   komunikasi yang baik dengan anak. Untuk mendapatkan perkembangan   mental yang baik, kita perlu mengetahui beberapa hal penting dalam   pembentukan mental. Pertama, kita perlu mengetahui faktor-faktor pembentuk   pola keyakinan manusia, dari anak-anak hingga dewasa. 1. Lingkungan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, lingkungan   dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sistem mental manusia. 2. Pengetahuan, terutama pengetahuan yang diberikan saat golden age,   masa dimana anak sangat cepat sekali meniru apa yang ia lihat, dengar dan   rasakan. 3. Pengalaman-pengalaman yg dialami oleh anak-anak kita. Apa yang mereka alami   saat anak-anak akan membekas sampai mereka dewasa. 4. Tantangan atau rangsangan yang diberikan kepada anak untuk   memancing kemampuan dan rasa percaya dirinya. 5. Mindset and mentality   programming. Ketika manusia mengalami trauma,   grogi, phobia, gelisah, ragu-ragu dan berbagai kecemasan lainnya sebenarnya   mereka sedang melihat bayangan mentalnya sendiri. Mereka seperti sedang   melihat film horrornya sendiri. Bila hal ini terjadi berulang-ulang akan   kembali membentuk mentalnya. Mindset dan mentality programming dilakukan   untuk membangun bayangan mental yang baru.  | |||
Hal penting lain menyangkut sistem   keyakinan yang terbentuk adalah sistem indera manusia. Sistem indera manusia   selalu bekerja menerima rangsangan. Apa pun yang kita lihat, dengar dan   rasakan akan selalu direkam oleh otak kita. Ada 2 macam pola perekaman   rangsangan oleh anak. 1. Anak merekam secara sadar, biasanya didasari oleh rasa ketertarikan. Misalnya   ketika anak menonton televisi, ia menyukai film kartun tertentu, maka ia akan   berusaha melihat, mendengar, merasakan film tersebut dan pada akhirnya   menceritakan kembali atau menirukan gerakan-gerakan dari film yang ia tonton. 2. Anak merekam secara tidak sadar. Pada awalnya anak tidak berniat melihat, mendengar atau   merasakan sesuatu. Akan tetapi karena hal tersebut terjadi berulang-ulang   maka kejadian tersebut dapat terekam dalam mentalnya. Sebagai contoh, anak   yang sedang bermain sendiri di kamar namun mendengar suara orang tuanya yang   sedang bertengkar. Dalam kondisi seperti ini, anak terlihat tetap aktif   bermain namun tanpa disadari merekam suasana pertengkaran kedua orang tuanya.   Contoh lain adalah anak yang tertidur di depan televisi. Hal ini sangat   berbahaya karena suara-suara dari televisi akan tetap dicerna dan ditangkap   oleh telinga yang kemudian akan meneruskan sinyalnya ke otak kita. Pada   kejadian ini, gelombang otak tidak ikut tidur namun terus bekerja merekam   suara-suara yang ditangkap indera pendengaran dan memasukkan ke dalam   mentalnya. Pola perekaman yang kedua kadang   kala lebih berbahaya dari pola perekaman yang pertama karena sering tidak   disadari oleh orang tua. Yang bisa dilakukan orang tua untuk mengantasi hal   ini adalah dengan 1. Mempersiapkan lingkungan Salah satu contoh penyiapan   lingkungan adalah dengan meyetel VCD pendidikan anak, dongeng atau murattal.   Biarkan anak tidur dengan mendengarkan suara-suara atau kisah-kisah yang   baik. Kisah-kisah tersebut biasanya akan terbawa mimpi oleh sang anak dan   merupakan sarana terapi yang cukup baik. 2. Melakukan kalibrasi atau   pengecekan dengan cara berdialog dan bercerita Misalnya kita ingin anak dapat   bangun pagi dan shalat subuh berjamaah di masjid. Ajak anak berdialog   sebentar (3-5 menit) sebelum tidur untuk menanamkan motivasi dan keyakinan   diri si anak. Contohnya dengan mengatakan: "Fulan anak yang sholeh ya,   anak laki-laki yang sholeh biasanya shalat subuh ke masjid bersama ayah. Jadi   besok Fulan shalat subuh bersama ayah yah. Besok ketika dibangunkan langsung   bersemangat yah." Selanjutnya, sistem otak   manusia tidak hanya menerima rangsangan tetapi juga memancarkan rangsangan.   Ambil contoh membangunkan anak untuk sekolah. Ketika orang tua memberikan   rangsangan yang kurang baik kepada anak, maka anak juga cenderung memberi   respon yang tidak baik. Misalnya ketika ayah membangunkan anak dengan   terburu-buru, dengan sedikit rasa kesal, maka yang akan terjadi adalah anak   yang susah dan marah ketika dibangunkan. Yang biasa dilakukan orang tua dalam   kondisi seperti ini adalah dengan teknik "pemaksaan" terhadap anak.   "Jika kamu tidak bangun nanti ayah tidak beri uang jajan, jika kamu   tidak bangun kamu tidak usah sekolah". Kita harus ingat otak dan mental   kita senantiasa memancarkan energi. Supaya anak hanya menerima energi yang   positif dari kita, kita harus berusaha mematahkan atau menyelaraskan energi   negatif yang sudah terlanjur keluar. Misalnya dalam hal anak terlanjur kesal   dibangunkan. Sejenak tarik napas dalam-dalam dengan tujuan mematahkan pola   energi negatif tadi. Kemudian ajak anak berdialog atau melakukan aktivitas   lain yang menyenangkan yang tidak ada hubungannya dengan trauma yang ia   rasakan. Dalam hal ini, jangan bicarakan tentang mandi, atau tentang sekolah.   Ajak anak tertawa dan bercanda misalnya dengan menggelitiki ia atau melakukan   perang bantal. Selanjutnya, saat anak sudah merasa senang, langsung angkat ke   kamar mandi dan katakan "yuk sekarang ke kamar mandi" tanpa harus   ditanya lagi "mau mandi tidak?" atau "mau sekolah   tidak?". Teknik seperti ini disebut teknik pematahan pola. Selain itu, kita harus menyiapkan   diri melakukan penyelarasan terhadap dunia anak-anak. Sesuai fitrahnya,   manusia merasa senang dekat dengan siapa saja yang mirip dengan dirinya, baik   itu anak-anak, remaja atau pun dewasa. Sebagai orang tua, kita tidak bisa   memaksa anak-anak masuk ke dunia orang dewasa. Sebaliknya, kita harus   berusaha masuk ke dalam dunia anak-anak, ke dalam bahasa, gaya, perasaan,   perilaku. Ketika kita dapat masuk ke dalam dunia mereka, insya Allah   anak-anak akan merasa nyaman dengan kita. Dan ketika mereka sudah merasa   nyaman dengan kita, insya Allah semua motivasi dan masukan apa pun yang ingin   kita berikan kepada anak-anak akan dapat diterima dengan baik.  | |||
Pertanyaan   dan jawaban 1. Tanya : Kisaran usia untuk masa golden age pada anak. Jawab: Masa golden age pada anak berlangsung pada usia 0 sampai   dengan 13 tahun, walaupun sebenarnya pada usia 14 tahun masih terjadi proses   penyerapan pada otaknya. Dalam proses pendewasaan, manusia mulai memiliki hal   yang biasa kita sebut prinsip. Ketika prinsip-prinsip tersebut mulai menempel   pada diri seseorang, ia mulai mengadakan penolakan-penolakan terhadap hal-hal   yang dirasa tidak cocok dengan dirinya. Dalam kajian hypnotheraphy ada yang   dinamakan critical area. Critical area adalah ketika anak sudah dapat   memberikan kritisi atau argumentasi atas masukan atau teguran yang diberikan   orang tua terhadap anak. Misalnya, orang tua yang terbiasa membaca doa dalam   hati sebelum makan. Ketika anak diingatkan untuk membaca doa sebelum makan,   ia berdalih bahwa orang tuanya juga tidak membaca doa sebelum makan. Ketika   dikatakan bahwa ayah/ibu membaca doa dalam hati, maka si anak berkata kalau   demikian ia juga bisa membaca doa dalam hati. Argumentasi yang mulai bisa   diberikan anak, misalnya pada usia 10 dan 12 tahun menandakan critical area   yang mulai terbentuk. Golden age merupakan masa dimana critical area   ini belum terlalu banyak. 2. Tanya:  a. Pola asuh seperti apa yang   diharapkan agar pola sambungan neurologis anak berkembang dengan sempurna? b.Pada kasus-kasus tertentu, dimana mental anak sudah terganggu adakah sesuatu yang bisa kita lakukan? Jawab: a. Sebagai orang tua, kita   sebaiknya memiliki rencana yang spesifik untuk anak-anak kita, yaitu ingin   kita arahkan seperti apa nantinya anak-anak kita. Paling tidak, kita harus   memiliki niat untuk merencanakan masa depan anak kita sesuai dengan   nilai-nilai syariat Islam seperti yang telah dicontohkan Rasulullah SAW. Pola   asuh yang sebenarnya akan muncul dari apa yang kita rencanakan tersebut.   Misalnya, kita ingin anak kita sudah dapat menghapal quran 15 juz ketika   lulus SD. Dengan memiliki target seperti ini, orang tua akan mulai berpikir   apa yang dapat dilakukan untuk mencapai target tersebut. Dua hal yang harus   selalu diingat oleh orang tua adalah, yang pertama, apa pun yang yang anak   kita lihat, dengar dan rasakan akan selalu terekam dalam otaknya. Yang kedua,   mental anak yang terbentuk akan mempengaruhi kondisi di dalam rumah. b. Jika interaksi kita sebagai   orang tua dan anak kurang, dikarenakan oleh kesibukan pekerjaan dan lain   sebagainya, Pak Purwanto menyarankan untuk memperhatikan faktor lingkungan.   Kita perlu memperhatikan rangsangan-rangsangan yang diterima anak, mengontrol   lingkungannya terutama untuk aktivitas-aktivitasnya di luar rumah. 3. Tanya: Bagaimana metode yang baik untuk memberi teguran kepada   anak? Jawab: Orang tua harus melakukan penyelarasan dengan cara   meniatkan diri untuk masuk ke dalam dunia anak-anak. Niat ini penting untuk   menyelaraskan energi yang terpancar dari diri kita. Kita perlu menyelaraskan   energi, karena kondisi dan suasana hati orang tua akan serta merta menular   kepada anak. Ketika kita sedang kesal, energi kesal akan menular kepada anak,   mempengaruhi mentalnya dan selanjutnya akan mempengaruhi sikap anak kepada   kita. Untuk mematahkan energi ini cobalah untuk menarik napas dalam melalui   hidung, keluarkan melalui mulut. Lanjutkan dengan menyebut nama Allah seperti   mengucapkan istighfar atau hamdallah. Kemudian munculkan rasa sayang kepada   anak, sehingga energi sayang menular dan segera ditangkap oleh hati anak.   Ajak anak bicara dengan menggunakan bahasa dan dengan memperhatikan perasaan   mereka. Posisikan diri kita sebagai teman, tinggalkan kewibawaan sebagai   orang tua. Tanyakan mengapa mereka berbuat demikian dan ketika mereka sudah   merasa nyaman, masukkan teguran kita tanpa amarah. Jelaskan bahwa anak   sholeh/sholehah tidak berbuat seperti itu. Senakal-nakalnya anak, ketika   mereka merasakan pancaran kasih sayang orang tuanya, akan merasa tidak enk   ketika melakukan sesuatu yang salah. Mereka bisa segera meminta maaf tanpa   disuruh oleh orang tuanya. 4.   Tanya: Mental anak mempengaruhi   lingkungan, bagaimana contohnya? Jawab: Contohnya, seorang anak yang penakut. Kondisi ini salah   satunya akan mempengaruhi sikap orang tua terhadap si anak. Respon yang   diberikan orang tua bermacam-macam. Ada orang tua yang merasa kecewa, karena   merasa dirinya bukan seorang yang penakut. Ia tidak berusaha melakukan   penyelarasan, malah menyalahkan si anak terhadap masalah yang dihadapinya.   Ada pula orang tua yang menjadi over protective, tidak membiarkan si   anak main keluar sendiri. Orang tua lainnya berusaha memberikan rangsangan   dan membangun kepercayaan diri si anak. Misalnya dengan memberikan tantangan   yang diyakini dapat diselesaikan si anak sehingga pulih rasa percaya dirinya.  |   
Tidak ada komentar:
Posting Komentar