Selasa, 18 Januari 2011

Pengaruh Lingkungan Terhadap Perkembangan Mental Anak dari Tinjauan Pembentukan Pola Neurologis Otak


Pengaruh Lingkungan Terhadap Perkembangan Mental Anak dari Tinjauan Pembentukan Pola Neurologis Otak

Nara sumber: H. Ir. Purwanto Yusdharmanto

Seminar online KHARISMA Women and Education bulan Oktober 2009 mengangkat tema “Pengaruh Lingkungan terhadap perkembangan Mental Anak dari Tinjauan Pembentukan Pola Neurologis Otak". Nara sumber seminar kali ini adalah Bapak H. Ir. Purwanto Yusdharmanto, seorang public speaker, trainer dan mentality therapist. Beliau merupakan pendiri PT. REPS Indonesia, penggagas Deep-Mind Power Engineering Technique (http://deepmindpower.com/), yang telah berpengalaman melakukan pelatihan dan terapi untuk perusahaan, keluarga, dan siswa sekolah menengah.

Secara garis besar, manusia, sejak usia kanak kanak hingga dewasa, selalu berada dalam keadaan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Menurut penelitian pakar neurologi otak, manusia akan senantiasa dibentuk oleh lingkungan atau faktor eksternal dari luar tubuhnya dalam setiap detik kehidupannya, selama ia masih dapat bernapas.

Pengaruh lingkungan pada anak-anak sangat luar biasa karena pada masa kanak-kanak dikenal “the golden age" atau masa keemasan di mana penyerapan hal-hal yang membentuk pola di dalam otak anak berlangsung sangat cepat dan mudah. Di dalam otak anak terdapat milyaran sel syaraf, dan pada sel-sel syaraf tersebut akan terbentuk pola-pola mental dan karakter. Contohnya seorang anak yang memiliki pengalaman disuntik dengan sedikit dipaksa. Kejadian tersebut meninggalkan rasa sakit sehingga terekam dan meninggalkan pola asosiasi yang kuat pada anak, bahwa setiap orang yang berpakaian putih-putih identik dengan suntikan. Akibatnya dengan hanya melihat orang berpakaian putih-putih seperti dokter, suster atau orang lain yang mungkin tidak ada hubungannya dengan suntikan dia sudah merasa ketakutan dan histeris. Sayangnya, orang tua sering mengabaikan hal-hal yang terlihat sepele semacam ini.

Contoh lain pengaruh lingkungan pada anak bisa dilihat pada cerita Tarzan. Tarzan begitu lihai berjalan, bercakap dan bertingkah laku seperti kera dan binatang-binatang hutan lainnya. Hal ini karena setiap waktu dalam sebuah kurun waktu tertentu ia senantiasa mendapatkan rangsangan-rangsangan dari lingkungan sekitarnya mengenai cara hidup di hutan. Ternyata saat ia dewasa dan bertemu manusia, baru ia sadari bahwa sebenarnya bukan seperti itu seharusnya ia berjalan, bercakap, dan bertingkah laku.

Pada orang dewasa, perulangan kejadian juga bisa menyebabkan terbentuknya pola perilaku. Misalnya orang yang sebelumnya tidak pernah menggosip, ketika ia mulai menggosip hal ini akan membentuk pola menggosip di otaknya. Semakin sering ia mencoba menggosip, pola yang terbentuk akan semakin kuat dan hidup. Menurut dr. Taufik Bachtiar, pakar neurologi otak Indonesia, ketika kebiasaan sudah menjadi terlalu sering, maka pola perkembangan otak akan menjadi hidup seolah-olah dia perlu berkembang, menjadi besar dan mencari sambungan yang lebih besar lagi. Pada akhirnya otak akan selalu berusaha mencari makanan untuk pola yang terbentuk ini. Orang yang terbiasa menggosip akan menjadi pusing ketika lama tidak menggosip. Pusing yang ia rasakan merupakan sinyal yang dikirim otak untuk mencari makanan, dalam hal ini menggosip.



Perulangan kejadian seperti ini dapat pula menjadi sumber terbentuknya trauma. Misalnya pada si anak yang takut disuntik, ketika setiap kali disuntik ia selalu dipaksa maka bisa jadi dia menjadi trauma dengan suntikan. Hal penting yang perlu diingat oleh orang tua adalah jangan menganggap sepele setiap kejadian yang terjadi pada anak. Karena banyak trauma yang terjadi pada orang dewasa ternyata disebabkan oleh kejadian saat ia masih kecil. Semua hal yang terekam oleh hati dan panca indera kita, apa yang kita ingat, lihat, dengar dan rasakan sebenarnya tidak pernah hilang dari otak kita. Saat kita mengalami trauma dan kemudian menjalani terapi untuk menghilangkannya, pada dasarnya yang dihilangkan adalah intensitas rasa takutnya. Namun ingatan kita akan hal yang pernah terjadi akan tetap tinggal di dalam mental dan jiwa kita.

Ada kasus seorang ibu yang sering merasa kurang percaya diri. Rasa kurang percaya diri ini pada akhirnya sering menimbulkan masalah dalam pekerjaannya. Pak Purwanto, narasumber kita kali ini, kemudian berusaha menggali penyebab dari masalah ini. Singkat cerita, ditemukanlah sumbernya, sebuah kejadian di masa lalu ibu tersebut. Pada saat SD dan SMP beliau selalu berprestasi dan membanggakan kedua orang tuanya. Tiba saatnya masuk SMA, orang tuanya memaksa beliau untuk masuk sebuah SMA elite pilihan orang tuanya. Sang ibu yang mendapati dirinya berasal dari keluarga biasa-biasa saja dihadapkan pada kondisi teman-temannya yang berbeda, misalnya pergi ke sekolah selalu diantar mobil pribadi. Hal ini menyebabkan beliau merasa minder yang pada akhirnya menghambat prestasi beliau di SMA dan universitas.

Selain dipengaruhi, mental anak juga bisa mempengaruhi lingkungannya (orang tua, suasana dan kondisi rumah). Kedua hal ini bisa dianalogikan seperti ayam dan telurnya, tidak jelas yang mana muncul lebih dulu dan saling mempengaruhi satu sama lain. Contohnya anak yang takut disuntik tadi. Trauma si anak bisa mempengaruhi sikap kedua orang tuanya. Mereka misalnya menjadi over protective terhadap si anak. Selanjutnya, sikap over protective ini pun akan balik mempengaruhi anak tersebut menjadi anak yang tidak mandiri. Yang paling baik dalam situasi seperti ini adalah orang tua mencoba melakukan penyelarasan dan membangun komunikasi yang baik dengan anak.

Untuk mendapatkan perkembangan mental yang baik, kita perlu mengetahui beberapa hal penting dalam pembentukan mental. Pertama, kita perlu mengetahui faktor-faktor pembentuk pola keyakinan manusia, dari anak-anak hingga dewasa.

1. Lingkungan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, lingkungan dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sistem mental manusia.

2. Pengetahuan, terutama pengetahuan yang diberikan saat golden age, masa dimana anak sangat cepat sekali meniru apa yang ia lihat, dengar dan rasakan.

3. Pengalaman-pengalaman yg dialami oleh anak-anak kita. Apa yang mereka alami saat anak-anak akan membekas sampai mereka dewasa.

4. Tantangan atau rangsangan yang diberikan kepada anak untuk memancing kemampuan dan rasa percaya dirinya.

5. Mindset and mentality programming. Ketika manusia mengalami trauma, grogi, phobia, gelisah, ragu-ragu dan berbagai kecemasan lainnya sebenarnya mereka sedang melihat bayangan mentalnya sendiri. Mereka seperti sedang melihat film horrornya sendiri. Bila hal ini terjadi berulang-ulang akan kembali membentuk mentalnya. Mindset dan mentality programming dilakukan untuk membangun bayangan mental yang baru.

Hal penting lain menyangkut sistem keyakinan yang terbentuk adalah sistem indera manusia. Sistem indera manusia selalu bekerja menerima rangsangan. Apa pun yang kita lihat, dengar dan rasakan akan selalu direkam oleh otak kita. Ada 2 macam pola perekaman rangsangan oleh anak.

1. Anak merekam secara sadar, biasanya didasari oleh rasa ketertarikan. Misalnya ketika anak menonton televisi, ia menyukai film kartun tertentu, maka ia akan berusaha melihat, mendengar, merasakan film tersebut dan pada akhirnya menceritakan kembali atau menirukan gerakan-gerakan dari film yang ia tonton.

2. Anak merekam secara tidak sadar. Pada awalnya anak tidak berniat melihat, mendengar atau merasakan sesuatu. Akan tetapi karena hal tersebut terjadi berulang-ulang maka kejadian tersebut dapat terekam dalam mentalnya. Sebagai contoh, anak yang sedang bermain sendiri di kamar namun mendengar suara orang tuanya yang sedang bertengkar. Dalam kondisi seperti ini, anak terlihat tetap aktif bermain namun tanpa disadari merekam suasana pertengkaran kedua orang tuanya. Contoh lain adalah anak yang tertidur di depan televisi. Hal ini sangat berbahaya karena suara-suara dari televisi akan tetap dicerna dan ditangkap oleh telinga yang kemudian akan meneruskan sinyalnya ke otak kita. Pada kejadian ini, gelombang otak tidak ikut tidur namun terus bekerja merekam suara-suara yang ditangkap indera pendengaran dan memasukkan ke dalam mentalnya.

Pola perekaman yang kedua kadang kala lebih berbahaya dari pola perekaman yang pertama karena sering tidak disadari oleh orang tua. Yang bisa dilakukan orang tua untuk mengantasi hal ini adalah dengan

1. Mempersiapkan lingkungan
Salah satu contoh penyiapan lingkungan adalah dengan meyetel VCD pendidikan anak, dongeng atau murattal. Biarkan anak tidur dengan mendengarkan suara-suara atau kisah-kisah yang baik. Kisah-kisah tersebut biasanya akan terbawa mimpi oleh sang anak dan merupakan sarana terapi yang cukup baik.

2. Melakukan kalibrasi atau pengecekan dengan cara berdialog dan bercerita
Misalnya kita ingin anak dapat bangun pagi dan shalat subuh berjamaah di masjid. Ajak anak berdialog sebentar (3-5 menit) sebelum tidur untuk menanamkan motivasi dan keyakinan diri si anak. Contohnya dengan mengatakan: "Fulan anak yang sholeh ya, anak laki-laki yang sholeh biasanya shalat subuh ke masjid bersama ayah. Jadi besok Fulan shalat subuh bersama ayah yah. Besok ketika dibangunkan langsung bersemangat yah."

Selanjutnya, sistem otak manusia tidak hanya menerima rangsangan tetapi juga memancarkan rangsangan. Ambil contoh membangunkan anak untuk sekolah. Ketika orang tua memberikan rangsangan yang kurang baik kepada anak, maka anak juga cenderung memberi respon yang tidak baik. Misalnya ketika ayah membangunkan anak dengan terburu-buru, dengan sedikit rasa kesal, maka yang akan terjadi adalah anak yang susah dan marah ketika dibangunkan. Yang biasa dilakukan orang tua dalam kondisi seperti ini adalah dengan teknik "pemaksaan" terhadap anak. "Jika kamu tidak bangun nanti ayah tidak beri uang jajan, jika kamu tidak bangun kamu tidak usah sekolah".

Kita harus ingat otak dan mental kita senantiasa memancarkan energi. Supaya anak hanya menerima energi yang positif dari kita, kita harus berusaha mematahkan atau menyelaraskan energi negatif yang sudah terlanjur keluar. Misalnya dalam hal anak terlanjur kesal dibangunkan. Sejenak tarik napas dalam-dalam dengan tujuan mematahkan pola energi negatif tadi. Kemudian ajak anak berdialog atau melakukan aktivitas lain yang menyenangkan yang tidak ada hubungannya dengan trauma yang ia rasakan. Dalam hal ini, jangan bicarakan tentang mandi, atau tentang sekolah. Ajak anak tertawa dan bercanda misalnya dengan menggelitiki ia atau melakukan perang bantal. Selanjutnya, saat anak sudah merasa senang, langsung angkat ke kamar mandi dan katakan "yuk sekarang ke kamar mandi" tanpa harus ditanya lagi "mau mandi tidak?" atau "mau sekolah tidak?". Teknik seperti ini disebut teknik pematahan pola.

Selain itu, kita harus menyiapkan diri melakukan penyelarasan terhadap dunia anak-anak. Sesuai fitrahnya, manusia merasa senang dekat dengan siapa saja yang mirip dengan dirinya, baik itu anak-anak, remaja atau pun dewasa. Sebagai orang tua, kita tidak bisa memaksa anak-anak masuk ke dunia orang dewasa. Sebaliknya, kita harus berusaha masuk ke dalam dunia anak-anak, ke dalam bahasa, gaya, perasaan, perilaku. Ketika kita dapat masuk ke dalam dunia mereka, insya Allah anak-anak akan merasa nyaman dengan kita. Dan ketika mereka sudah merasa nyaman dengan kita, insya Allah semua motivasi dan masukan apa pun yang ingin kita berikan kepada anak-anak akan dapat diterima dengan baik.

Pertanyaan dan jawaban

1. Tanya : Kisaran usia untuk masa golden age pada anak.

Jawab: Masa golden age pada anak berlangsung pada usia 0 sampai dengan 13 tahun, walaupun sebenarnya pada usia 14 tahun masih terjadi proses penyerapan pada otaknya. Dalam proses pendewasaan, manusia mulai memiliki hal yang biasa kita sebut prinsip. Ketika prinsip-prinsip tersebut mulai menempel pada diri seseorang, ia mulai mengadakan penolakan-penolakan terhadap hal-hal yang dirasa tidak cocok dengan dirinya. Dalam kajian hypnotheraphy ada yang dinamakan critical area. Critical area adalah ketika anak sudah dapat memberikan kritisi atau argumentasi atas masukan atau teguran yang diberikan orang tua terhadap anak. Misalnya, orang tua yang terbiasa membaca doa dalam hati sebelum makan. Ketika anak diingatkan untuk membaca doa sebelum makan, ia berdalih bahwa orang tuanya juga tidak membaca doa sebelum makan. Ketika dikatakan bahwa ayah/ibu membaca doa dalam hati, maka si anak berkata kalau demikian ia juga bisa membaca doa dalam hati. Argumentasi yang mulai bisa diberikan anak, misalnya pada usia 10 dan 12 tahun menandakan critical area yang mulai terbentuk. Golden age merupakan masa dimana critical area ini belum terlalu banyak.

2. Tanya:
a. Pola asuh seperti apa yang diharapkan agar pola sambungan neurologis anak berkembang dengan sempurna?
b.Pada kasus-kasus tertentu, dimana mental anak sudah terganggu adakah sesuatu yang bisa kita lakukan?

Jawab:
a. Sebagai orang tua, kita sebaiknya memiliki rencana yang spesifik untuk anak-anak kita, yaitu ingin kita arahkan seperti apa nantinya anak-anak kita. Paling tidak, kita harus memiliki niat untuk merencanakan masa depan anak kita sesuai dengan nilai-nilai syariat Islam seperti yang telah dicontohkan Rasulullah SAW. Pola asuh yang sebenarnya akan muncul dari apa yang kita rencanakan tersebut. Misalnya, kita ingin anak kita sudah dapat menghapal quran 15 juz ketika lulus SD. Dengan memiliki target seperti ini, orang tua akan mulai berpikir apa yang dapat dilakukan untuk mencapai target tersebut. Dua hal yang harus selalu diingat oleh orang tua adalah, yang pertama, apa pun yang yang anak kita lihat, dengar dan rasakan akan selalu terekam dalam otaknya. Yang kedua, mental anak yang terbentuk akan mempengaruhi kondisi di dalam rumah.
b. Jika interaksi kita sebagai orang tua dan anak kurang, dikarenakan oleh kesibukan pekerjaan dan lain sebagainya, Pak Purwanto menyarankan untuk memperhatikan faktor lingkungan. Kita perlu memperhatikan rangsangan-rangsangan yang diterima anak, mengontrol lingkungannya terutama untuk aktivitas-aktivitasnya di luar rumah.

3. Tanya: Bagaimana metode yang baik untuk memberi teguran kepada anak?

Jawab: Orang tua harus melakukan penyelarasan dengan cara meniatkan diri untuk masuk ke dalam dunia anak-anak. Niat ini penting untuk menyelaraskan energi yang terpancar dari diri kita. Kita perlu menyelaraskan energi, karena kondisi dan suasana hati orang tua akan serta merta menular kepada anak. Ketika kita sedang kesal, energi kesal akan menular kepada anak, mempengaruhi mentalnya dan selanjutnya akan mempengaruhi sikap anak kepada kita. Untuk mematahkan energi ini cobalah untuk menarik napas dalam melalui hidung, keluarkan melalui mulut. Lanjutkan dengan menyebut nama Allah seperti mengucapkan istighfar atau hamdallah. Kemudian munculkan rasa sayang kepada anak, sehingga energi sayang menular dan segera ditangkap oleh hati anak. Ajak anak bicara dengan menggunakan bahasa dan dengan memperhatikan perasaan mereka. Posisikan diri kita sebagai teman, tinggalkan kewibawaan sebagai orang tua. Tanyakan mengapa mereka berbuat demikian dan ketika mereka sudah merasa nyaman, masukkan teguran kita tanpa amarah. Jelaskan bahwa anak sholeh/sholehah tidak berbuat seperti itu. Senakal-nakalnya anak, ketika mereka merasakan pancaran kasih sayang orang tuanya, akan merasa tidak enk ketika melakukan sesuatu yang salah. Mereka bisa segera meminta maaf tanpa disuruh oleh orang tuanya.

4. Tanya: Mental anak mempengaruhi lingkungan, bagaimana contohnya?

Jawab: Contohnya, seorang anak yang penakut. Kondisi ini salah satunya akan mempengaruhi sikap orang tua terhadap si anak. Respon yang diberikan orang tua bermacam-macam. Ada orang tua yang merasa kecewa, karena merasa dirinya bukan seorang yang penakut. Ia tidak berusaha melakukan penyelarasan, malah menyalahkan si anak terhadap masalah yang dihadapinya. Ada pula orang tua yang menjadi over protective, tidak membiarkan si anak main keluar sendiri. Orang tua lainnya berusaha memberikan rangsangan dan membangun kepercayaan diri si anak. Misalnya dengan memberikan tantangan yang diyakini dapat diselesaikan si anak sehingga pulih rasa percaya dirinya.
*dituliskan kembali oleh: Anggraeni

Manfaat Hidup Bertetangga


Manfaat Hidup Bertetangga

INGIN terbebas dari risiko hipertensi? Cobalah hidup bertetangga. Orang-orang yang tinggal di lingkungan yang banyak tetangga bisa hidup tenang. Sebab jauh dari risiko kejahatan serta terdapat banyak fasilitas sosial dan umum. Warganya punya solidaritas tinggi.

Seperti dikutip jurnal Epidemiology, bulan lalu, lingkungan itu bisa menunjang kesehatan jantung. Menurut Profesor Ana V. Diez Roux, epidemiolog di University of Medicine, Amerika Serikat, banyaknya gang juga ikut berperan karena dapat mendorong warga untuk berjalan kaki. “Kondisi itu bisa membuat orang lebih rileks dan dapat memulihkan stres,” katanya.

Pernyataan Ana itu didasarkan pada studi terhadap 2.612 pria dewasa berusia 45-65 tahun di Amerika Serikat. Hasilnya, risiko terkena tekanan darah tinggi pada orang yang tinggal di permukiman yang tetangganya berdekatan adalah seperempat lebih rendah ketimbang yang tinggal di permukiman yang agak berjauhan satu sama lainnya atau yang kurang bergaul dengan tetangga.

“Perlu kebijaksanaan yang dapat menciptakan lingkungan kondusif untuk membuat pilihan yang menyehatkan dan mengurangi stres,” ujarnya. (Gatra, 30 Juli 2008). (Ditulis kembali oleh: Mohamad Istihori).

Senin, 17 Januari 2011

Komunikasi Tepat supaya Anak Bersikap Baik

Komunikasi Tepat supaya Anak Bersikap Baik


Kamis, 13/1/2011 | 20:58 WIB

KOMPAS.com — Jika Anda ingin si kecil bersikap dengan baik, perhatikan cara Anda mengomunikasikan keinginan Anda itu. Menurut pengarang How to Behave So Your Preschooler Will, Too!, Sal Severe PhD, komunikasi adalah faktor terpenting agar si kecil bisa belajar bersikap dengan baik. Cara Anda mengomunikasikan ekspektasi dan keinginan akan membuat banyak perbedaan.

Bayangkan diri Anda ada di posisi si kecil. Jika ia mendengar suara orangtuanya mengatakan sesuatu dengan nada melengking atau tidak menyenangkan, apakah pesan yang disampaikan bisa dimengerti? Tentu sulit untuk dicerna. Tetapi kadang, dengan nada lembut pun si kecil seakan tidak mau mengerti. Bagaimana cara berkomunikasi yang efektif dengan anak? Dr Severe menyarankan beberapa langkah, antara lain:

Nada positif
Katakan pada si kecil apa yang Anda ingin ia lakukan ketimbang apa yang Anda tak ingin ia lakukan. Misal, "Tolong keringkan air mata kamu," ketimbang, "Jangan cengeng!" atau "Berhenti nangis!" Contoh lainnya, ketimbang mengatakan, "Berhenti mengeluh", katakan, "Mintanya dengan nada sopan, dong." Saat anak Anda mengikuti instruksi Anda, berikan pujian. Ingat untuk memuji sikapnya, bukan anak secara keseluruhan. Jika Anda mengatakan, "Kamu anak yang baik saat kamu main manis sama adik kamu," pesan yang ditangkap anak adalah ia bukan anak baik kalau tidak main manis dengan adiknya. Alih-alih, katakan, "Mama bangga dengan cara kamu berbagi sama adik kamu. Pilihan kamu bagus, Nak."

Rencanakan sikap bagus
Anak-anak perlu tahu ekspektasi yang Anda harapkan darinya sejak dini. Biarkan ia tahu ke mana Anda dan ia akan pergi, apa aturannya, dan apa yang akan terjadi jika ia bersikap baik atau nakal. Jika ia tahu keadaan apa yang akan ia hadapi, ia akan jauh lebih baik dalam mengikuti instruksi Anda.

Jangan lupa untuk membawa tas aktivitas untuk si kecil jika Anda berencana pergi jauh, ke restoran, atau tempat lainnya yang membutuhkan si kecil untuk banyak duduk. Jika Anda membawa mainan atau hal lain yang membuat si kecil sibuk, Anda akan menghindari banyak problem potensial. Menurut dr Severe, barang-barang yang dibawa akan lebih efektif jika barangnya masih baru untuk anak. Jika Anda sempat, berbelanjalah mainan atau buku anak dalam jumlah banyak, dan simpan. Keluarkan satu per satu jika Anda ingin si kecil tenang.

Pesan positif
Anak-anak percaya apa pun yang dikatakan oleh orangtua mereka. Jika Anda mengatakan bahwa si kecil susah belajar mendengarkan, ia akan berlaku seperti itu. Jika Anda katakan bahwa Anda yakin ia bisa belajar mendengarkan dan patuh sama apa kata mama, ia akan berusaha membuktikan Anda benar. Tanamkan ide dalam dirinya bahwa ia bisa melakukan apa yang Anda minta. Mereka akan belajar untuk memenuhi permintaan Anda.

Berikan pujian atas hal-hal bagus yang ia lakukan. Semakin banyak Anda mendorong ia melakukan sikap yang baik, makin ia ingin membuat Anda bangga. Kebanyakan anak ingin melakukan hal-hal yang benar setiap saat. Fokuskan pada hal-hal yang positif dan Anda akan melihat tingkah positif itu lebih sering.

Contohkan
Setiap orangtua pasti ingin anaknya patuh sejak pertama diminta. Tetapi banyak pula orangtua yang mengatakan "Nanti dulu," atau, "Sebentar" atau mendengar si anak bicara tetapi tidak seksama? Jika Anda ingin si kecil menjadi pendengar yang baik, maka contohkan bagaimana menjadi pendengar yang baik. Anda harus mencontohkan hal-hal semacam ini. Sebisa mungkin, setiap kali anak Anda mengajak bicara, berhenti melakukan apa yang sedang Anda lakukan, buat kontak mata dengan si kecil, dan dengarkan sungguh-sungguh apa yang ia katakan. Tak hanya ia akan berlaku sama kepada Anda, hal ini juga akan membangun kepercayaan dirinya, dan membuatnya merasa dihargai.

Putar kembali
 Akan membantu untuk Anda belajar mengerti jika Anda memintanya mengatakan kembali apa yang Anda ingin ia lakukan. Contoh, "Kita mau main ke tempat Tante Rina, di sana kamu boleh main di taman belakangnya sama Bella. Tapi, kita cuma setengah jam saja di sana. Kalau Mama panggil kamu untuk pulang, kamu datangi mama, dan kita siap-siap pulang ya? Nah, coba kamu ulangi apa yang mama bilang tadi." Ia akan mencoba mengulang instruksi Anda. Ini akan memastikan si kecil mengerti apa yang diharapkan dari dia.

Harapan yang realistis
 Ingat, anak Anda adalah anak-anak. Anak balita atau usia prasekolah butuh banyak waktu Anda untuk diperhatikan. Ingat juga bahwa perubahan akan memakan waktu. Tetap positif dan konsisten dan Anda akan melihat perubahan pada sikap anak.

Belajar untuk berkomunikasi secara efektif dengan si kecil adalah hal krusial untuk meminta si anak melakukan apa yang Anda inginkan. Dengan kesabaran dan praktik, komunikasi Anda akan membaik, begitu pun sikap si anak.

Editor: Nadia Felicia
Sumber: babyzone

Kesehatan Mental Anak

Kesehatan Mental Anak

Peran keluarga sangat penting dalam upaya mengembangkan kesehatan mental anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun sosial budaya, yang diberikannya merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat.

Syamsu Yusuf (Dosen UPI) dalam artikelnya yang berjudul ”Mengembangkan Kesehatan Mental Berbasis Keluarga” menyatakan bahwa agama memberikan petunjuk tentang tugas dan fungsi orang tua dalam merawat dan mendidik anak, agar dalam hidupnya berada dalam jalan yang benar, sehingga terhindar dari malapetaka kehidupan, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak (kandungan al Quran, Surat at Tahrim:6). Rasulullah Saw. dalam salah satu hadisnya bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tauhiidulllah), karena orang tuanyalah anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (H.R. Bukhari & Muslim, dalam Panitia Mudzakarah Ulama, 1988).

Berkenaan dengan peran keluarga (orang tua) dalam mendidik anak, Imam al Ghazali dalam Kitab Ikhtisar Ihyau Ulumuddin terjemahan Mochtar Rasjidi dan Mochtar Jahja (1966:189) mengemukakan bahwa anak merupakan amanat bagi orang tuanya, dia masih suci laksana permata, baik atau buruknya perkembangan anak, amat bergantung kepada baik atau buruknya pembiasaan yang diberikan kepadanya.

Keluarga merupakan aset yang sangat penting, individu tidak bisa hidup sendirian, tanpa ada ikatan-ikatan dengan keluarga. Begitu menurut fitrahnya, menurut budayanya, dan begitulah perintah Allah SWT. Keluarga memberikan pengaruh yang besar terhadap seluruh anggotanya sebab selalu terjadi interaksi yang paling bermakna, paling berkenan dengan nilai yang sangat mendasar dan sangat intim (Djawad Dahlan, dalam Jalaluddin Rahmat dan Muhtar Gandaatmaja, 1994:49).

Keluarga mempunyai peranan penting karena dipandang sebagai sumber pertama dalam proses sosialisasi (Uichol Kim & John W. Berry). Keluarga juga berfungsi sebagai transmitter budaya, atau mediator sosial budaya anak (Hurlock, 1956; dan Pervin, 1970).

Keluarga juga dipandang sebagai instansi (lembaga) yang dapat memenuhi kebutuhan insani (manusiawi), terutama kebutuhan bagi pengembangan kepribadiannya, dan pengembangan ras manusia. Jika mengaitkan peranan keluarga dengan upaya memenuhi kebutuhan individu, keluarga merupakan lembaga pertama yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Melalui perawatan, dan perlakuan yang baik dari orang tua, anak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, baik fisik-bilogis, maupun sosiopsikologisnya.

Keluarga yang bahagia merupakan suatu hal yang sangat penting bagi perkembangan emosi para anggotanya (terutama anak). Kebahagiaan itu diperoleh apabila keluarga dapat memerankan fungsinya secara baik. Fungsi dasar keluarga adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang; dan mengembangkan hubungan yang baik di antara anggota keluarga. Hubungan cinta kasih dalam keluarga tidak sebatas perasaan, akan tetapi juga menyangkut pemeliharaan, rasa tanggung jawab, perhatian, pemahaman, respek, dan keinginan untuk menumbuhkembangkan anak yang dicintainya.

Keluarga yang hubungan antaranggotanya tidak harmonis, penuh konflik, atau gap communication, dapat mengembangkan masalah-masalah kesehatan mental (mental illness) bagi anak.

Fungsi keluarga
Mengkaji lebih jauh tentang fungsi keluarga ini, dapat dikemukakan bahwa secara sosiopsikologis, keluarga berfungsi sebagai:
(1) pemberi rasa aman bagi anak dan anggota keluarga lainnya;
(2) Sumber pemenuhan kebutuhan, baik fisik maupun psikis;
(3) Sumber kasih sayang dan penerimaan;
(4) Model pola perilaku yang tepat bagi anak untuk belajar menjadi anggota masyarakat yang baik;
(5) Pemberi bimbingan bagi pengembangan perilaku yang secara sosial dianggap tepat;
(6) Pembantu anak dalam memecahkan masalah yang dihadapinya dalam rangka menyesuaikan dirinya terhadap kehidupan;
(7) Pemberi bimbingan dalam belajar keterampilan, motor, verbal, dan sosial yang dibutuhkan untuk penyesuaian diri;
(8) Stimulator bagi pengembangan kemampuan anak untuk mencapai prestasi, baik di sekolah maupun di masyarakat;
(9) Pembimbing dalam mengembangkan aspirasi;
Dan (10) sumber persahabatan (teman bermain) anak, sampai cukup usia untuk mendapatkan teman di luar rumah, atau apabila persahabatan di luar rumah tidak memungkinkan.

Sedangkan dari sudut pandang sosiologis, fungsi keluarga itu dapat diklasifikasikan ke dalam fungsi-fungsi biologis, ekonomis, edukasi, sosialisasi, pro­teksi, rekreasi, dan religius (M.I. Soelaeman, 1978; Sudardja Adiwikarta, 1988; dan Melly S.S. Rifai, dalam Jalaluddin Rahmat dan Muhtar G., 1994).

Pengokohan penerapan nilai-nilai agama dalam keluarga merupakan landasan fundamental bagi perkembangan kondisi atau tatanan masyarakat yang damai dan sejahtera. Namun sebaliknya, apabila terjadi pengikisan atau erosi nilai-nilai agama dalam keluarga, atau juga dalam masyarakat, maka akan timbul malapetaka kehidupan yang dapat menjungkirbalikkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini seperti diungkapkan oleh mantan Menteri Agama, Tarmizi Taher dalam ceramahnya yang berjudul Peace, Prosperity, & Religious Harmony in The 21 Century: Indonesian Muslim Perspectives (Perdamaian, Kesejahteraan, dan Kerukunan Ummat Beragama di Abad ke-21: Perspektif Seorang Muslim Indonesia) di Georgetown AS, “Akibat disingkirkannya nilai agama dalam kehidupan modern, kita menyaksikan semakin meluasnya kepincangan sosial, seperti merebaknya kemiskinan, dan gelandangan di kota-kota besar; mewabahnya pornografi dan prostitusi, HIV, dan AIDS; meratanya penyalahgunaan obat bius, kejahatan terorganisasi, pecahnya rumah tangga hingga mencapai 67% di negara-negara modern; kematian ribuan orang karena kelaparan di Afrika dan Asia di tengah melimpahnya barang konsumsi di bagian belahan dunia utara.”

Untuk menciptakan keluarga sebagai lingkungan yang kondusif bagi perkembangan mental yang sehat, suasana sosiopsikologis keluarga yang bahagia, khususnya perkembangan karakteristik pribadi anak yang saleh, agama Islam telah memberikan petunjuk atau rambu-rambu, yang di antaranya adalah sebagai berikut.
(1) Bangunlah keluarga itu dengan melalui pernikahan yang sah berdasarkan syariat atau ketentuan agama.
(2) Pernikahan itu hendaknya didasarkan kepada niat beribadah kepada Allah karena menikah adalah sunah Rasulullaah saw. (Annikaahu sunnatii famanlamyargobu ‘an sunnatii falaisa minnii = nikah adalah sunahku, barang siapa yang membenci nikah berarti dia bukan umatku). Dengan demikian, suami dan istri, atau orang tua dan anak adalah mitra dalam beribadah kepada Allah.
(3) Pada saat berhubungan suami-istri (jima’ atau bersenggama), berdoalah kepada Allah agar diberi anak yang terhindar dari godaan setan. Doa yang diajarkan Rasulullah adalah Bismillaahirrahmaanirrahiim, Allahumma jannibnasysyaithana, wajannibisysyaithana mimmaa razaqtanaa (dengan nama Allah, ya Allah jauhkan kami dari setan, dan jauhkanlah setan dari rezeki/anak yang Engkau berikan kepada kami).
(4) Perbanyaklah doa, Robbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyyatinaa qurrota ‘ayun waj’alnaa lilmuttaqiina imaamaa (Ya Allah Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami dari pasangan-pasangan kami (suami/istri) dan keturunan kami yang membahagiakan mata hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa). Doa lain yang sebaiknya di-dawam-kan dalam rangka memohon anak yang saleh adalah Rabbii hablii minashshaalihiin (Ya Tuhanku anugerahkanlah kepadaku anak-anak yang saleh).
(5) Pada saat istri mengandung, hendaknya melakukan beberapa amalan ibadah,
(a) membaca Alquran (selama sembilan bulan mengandung, bacalah Alquran dari mulai surat Al-Fatihah s.d. surat Annaas, jangan hanya membaca surat-surat tertentu saja);
(b) melaksanakan salat tahajud, dan memperbanyak doa setelahnya;
(c) memperbanyak sedekah atau infak;
dan (d) memperbanyak zikir kepada Allah, atau membaca kalimah tayyibah, seperti tasbih (subhaanallaah), tahmid (alhamdulillaah), takbir (Allaahu akbar), dan tahlil (laa ilaaha illallaah). Yang melakukan amalan ini bukan hanya istri, tetapi juga suami.
(6) Menciptakan pola pergaulan yang ma’ruf (baik atau harmonis) antara suami-sitri, atau orang tua-anak.
(7) Pada saat anak lahir, ucapkanlah kalimah tayyibah (minimal membaca tahmid); ada juga yang menyarankan untuk mengumandangkan (dengan suara yang lembut) azan pada telinga kanan anak dan iqomat pada telinga kirinya.
(8) Pada saat anak sudah berusia tujuh hari, lakukan akekah bagi anak, yaitu menyembelih kambing/domba jantan (bagi anak laki-laki dua ekor, dan bagi anak perempuan satu ekor), mencukur rambut anak (rambut ini ditimbang seperti menimbang emas, hasilnya dihargai dengan harga emas, kemudian uangnya dibagikan kepada fakir miskin atau yatim piatu); dan memberi nama yang baik kepada anak (nama adalah doa). Pada acara ini undanglah keluarga, kerabat, atau tetangga dekat untuk bersama-sama mensyukuri nikmat dari Allah.
(9) Pada saat anak sudah masuk usia taman kanak-kanak, didiklah mereka (melalui pengajaran, keteladanan, dan pembiasaan) tentang berbagai aspek kehidupan yang penting bagi perkembangan kepribadiannya yang mantap, seperti:
(a) mengajar rukun iman dan rukun Islam, mengajar dan membiasakan ibadah salat, memberikan contoh dalam membayar zakat atau infak, mengajar membaca Alquran, dan doa-doa;
(b) melatih dan memberi contoh tentang cara merawat kebersihan dan kesehatan diri dan lingkungan, mandi, gosok gigi, makan dan minum yang teratur, membuang sampah pada tempatnya, memelihara kebersihan dan kerapihan rumah;
(c) memberi contoh tentang bertutur kata yang sopan (sesuai dengan bahasa ibunya);
dan (d) mengajar dan memberi contoh, teladan tentang tata krama (etika) bergaul dengan orang lain.
(10) Bersikap tabah atau bersabar pada saat menghadapi masalah atau persoalan, karena dalam mengarungi kehidupan berkeluarga tidak steril atau tidak lepas dari masalah tersebut. Masalah-masalah yang mungkin dihadapi itu di antaranya sebagai berikut.
(a) Adanya perbedaan kebiasaan, keinginan, dan sikap-sikap antara suami dan istri. Apabila suami dan istri kurang memiliki sikap saling memahami dan menerima, maka hal tersebut dapat menjadi faktor pemicu pertengkaran atau perselisihan, sehingga iklim kehidupan keluarga dirasakan tidak harmonis (Sunda, awet rajet).
(b) Penghasilan suami yang kurang mencukupi kebutuhan keluarga.
(c) Minimnya biaya pendidikan dan kesehatan bagi anak.
(d) Penyakit salah seorang anggota keluarga yang tidak sembuh-sembuh dan memerlukan perawatan yang cukup mahal.
(e) Anak berperilaku nakal. (Sunda, baong, bedegong, basangkal).
(f) Terjadinya perceraian yang dapat menyebabkan dampak yang kurang baik terhadap kehidupan keluarga, terutama terhadap nasib masa depan anak.
(g) Suami atau istri berselingkuh (berzina), atau mengonsumsi narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba).
(h) Adanya sikap saling mendominasi antara suami dan istri.
(i) Salah seorang anggota keluarga mengalami gangguan/sakit jiwa.
(j) Suami-istri atau orang tua kurang memperhatikan pengamalan nilai-nilai agama di lingkungan keluarga.

Kesehatan mental
Terdapat banyak unsur keluarga yang berpengaruh terhadap perkembangan kesehatan mental anak. Keluarga memiliki pengaruh yang sangat berarti terhadap perkembangan kepribadian atau kesehatan mental anak (remaja). Unsur-unsur keluarga yang dipandang berpengaruh itu adalah menyangkut keberfungsian, dan perlakuan keluarga.
1. Keberfungsian keluarga. Seiring dengan perjalanan hidupnya yang diwarnai oleh faktor internal (kondisi fisik, psikis, dan moralitas para anggota keluarga), dan faktor eksternal (perubahan sosial budaya), maka masng-masing keluarga mengalami perubahan yang beragam. Ada keluarga yang semakin kokoh dalam menerapkan fungsinya (fungsional-normal), namun ada juga keluarga yang mengalami keretakan atau ketidakharmonisan (disfungsional-tidak normal).
2. Pola hubungan orang tua-anak (Sikap atau perlakuan orang tua terha­dap anak). Weiten dan Lioyd (1994:361) mengemukakan lima prinsip effective parenting, yaitu sebagai berikut.
(a) Menyusun standar (aturan perilaku) yang tinggi, namun dapat dipahami. Dalam hal ini anak diharapkan untuk berperilaku dengan cara yang tepat sesuai dengan usianya.
(b) Menaruh perhatian terhadap perilaku anak yang baik dan memberikan reward (ganjaran). Perlakuan ini perlu dilakukan sebagai pengganti dari kebiasaan orang tua pada umumnya, yaitu bahwa mereka suka menaruh perhatian kepada anak pada saat anak berperilaku menyimpang, namun membiarkannya ketika melakukan yang baik.
(c) Menjelaskan alasannya (tujuannya), ketika meminta anak untuk mengerjakan sesuatu.
(d) Mendorong anak untuk menelaah dampak perilakunya terhadap orang lain.
(e) Menegakkan aturan secara konsisten.

Pada uraian berikut dikemukakan beberapa hasil penelitian tentang pengaruh lingkungan keluarga terhadap kesehatan mental remaja.
(a) Robinson, Sheldon, dan Glueck (M. Arifin, 1978:130) mengemukakan ha­sil penelitiannya, yaitu bahwa delinquency menjadi gejala yang sangat penting dari keluarga yang retak (breakdown), yaitu yang mengalami disintegrasi, tekanan emosional, dan kematian orang tua atau cerai.
(b) Peck (Loree, 1970:144) telah meneliti tentang hubungan antara karakteristik emosional dan pola perlakuan keluarga dengan elemen-elemen struktur kepribadian remaja. ***

Kembali ke Kotak Pasir

Kembali ke Kotak Pasir

Oleh: Sawitri Supardi Sadarjoen (Psikolog)

Saya mendengar cerita tentang anak-anak yang bermain pasir dalam kotak. Ada dua anak yang masing-masing membawa ember kecil dan sendok kecil bermain bersama. Salah seorang anak berteriak, menangis, dan lari keluar kotak.

“Saya benci kamu. Saya tidak mau main lagi dengan kamu. Kamu nakal.”

Namun, beberapa menit kemudian anak yang lari keluar kotak tersebut kembali ke kotak dan dengan tenangnya berbaikan dan asyik bermain berdua kembali.

Dekat dengan anak-anak yang sedang bermain tersebut, duduk dua orang dewasa. Yang satu mengatakan, “Apakah kau memerhatikan kedua anak tersebut?” Katanya dengan air muka menunjukkan kekaguman.
“Bagaimana bisa, ya, anak-anak seperti itu. Mereka adalah dua anak yang bermusuhan 5 menit lalu,” jawab orang dewasa yang lain.

“Sebenarnya sederhana. Anak-anak memilih kebahagiaan daripada memikirkan berlama-lama, apakah temannya melakukan tindakan benar atau salah,” demikian jawab temannya.

Kehidupan Dewasa
Orang dewasa memiliki kesulitan luar biasa untuk lepas dari perasaan marah, kepahitan, dan terluka. Walaupun sebenarnya kita semua tahu bahwa hidup sangat singkat, tetapi kita tidak memedulikannya dan kita tidak mungkin memilih kembali ke kotak pasir dalam waktu yang singkat, sampai akhirnya salah satu dari pasangan yang bertikai mau memulai dan mengakui kesalahannya.

Ternyata kebutuhan orang dewasa untuk menyeimbangkan posisi dalam kebersamaan dengan orang lain begitu kuat dan hal itu justru membuat kita terpaku oleh perasaan negatif, padahal perasaan negatif tersebut harus dibayar dengan mengorbankan kebahagiaan dan kenyamanan perasaan kita sendiri.

Pada dasarnya begitu banyak penderitaan yang dapat kita hindari apabila kita dapat meniru perilaku kedua anak tersebut. Kita dapat bangkit, bersinar kembali, dan membiarkan banyak hal berlalu.

“Saya kembali tenang dan nyaman saat suami saya mengetok kamar kerja saya di rumah. Ia memeluk saya sambil mengatakan, saya sayang sama kamu, di tengah pertengkaran sengit di antara kita. Suami kemudian berkata, `Sudahlah, apa yang kita pertengkarkan sebenarnya suatu hal yang tidak penting, lebih baik kita lupakan saja.`”

“Seperti kedua anak dalam kotak pasir tersebut, kita kembali melakukan hal-hal yang menyenangkan…,” demikian Harriet L. (2001).

Tentu saja, kehidupan dewasa tidak selalu sesederhana itu. Beberapa masalah perlu ditinjau ulang, dan tidak dibiarkan begitu saja, tetapi dibutuhkan waktu untuk berproses melalui diskusi/bicara bersama. Kita membutuhkan kata-kata untuk mulai menyembuhkan perasaan sakit hati oleh pengkhianatan, ketidaksamaan persepsi tentang sesuatu hal dan relasi yang rusak olehnya.

Kebutuhan kita akan bahasa, percakapan, dan definisi tetap melandasi keinginan kita agar segala sesuatu berdiri tegak di atas kebenaran. Melalui kata-kata, kita dapat memahami orang lain dan kita pun dipahami orang lain. Pengetahuan akan diri masing-masing ada dalam hati kita yang paling dalam demi keintiman relasi dengan orang lain.

Bagaimana relasi dijalin dengan orang yang paling bermakna dalam kehidupan kita tergantung dari keberanian dan kejelasan dalam menemukan suara hati kita sendiri. Begitu pula halnya dengan seberapa besar kemungkinan kita mampu menangkap relasi kita dengan diri kita sendiri. Bahkan, saat kita merasa tidak didengar sekalipun, kita mungkin masih tetap butuh untuk memahami suara hati kita sendiri yang mengatakan dengan keras, apa yang sebenarnya kita pikirkan dan kita rasakan.

Suara hati
Tantangan kita sebagai orang dewasa adalah mengembangkan suara hati kita yang kuat tentang keunikan diri kita sendiri, suara yang merefleksikan nilai-nilai dan pendirian kita. Serentak kita nyaman dengan suara kita sendiri, kita dapat membawanya ke dalam relasi yang paling bermakna bagi diri kita. Kita dapat memilih untuk pindah ke pusat percakapan yang sulit atau kita dapat melanjutkan saja relasi yang sudah terjalin.

Kita dapat berbicara dan menentukan kapan sebaiknya kita berhenti bicara. Apa pun yang kita pilih, sebenarnya sebagai orang dewasa kita pun dapat kembali ke kotak pasir dengan kejelasan, kebijaksanaan, dan tujuan yang telah kita tentukan.

Dengan demikian, kita dapat menguatkan SELF (diri) dan hubungan kita dengan orang lain serta mendapat kesempatan terbaik untuk meraih kebahagiaan, dalam kebersamaan kita dengan siapa pun yang bermakna bagi kita.

Pelatihan asertif, pelatihan komunikasi, bahkan semedi di puncak gunung yang sepi atau kontemplasi diri dalam kesunyian adalah tidak cukup karena apa pun yang kita jalani, tidak mencegah kemungkinan kita untuk tersulut rasa marah dan frustasi. Yang terpenting adalah meraih suara hati otentik melalui relasi yang intim dengan orang lain. Otentisitas suara hati kita membuat kita mampu menempatkan posisi diri dan orang lain secara pas dan tepat. Memiliki suara hati yang otentik, menurut Harriet L, berarti,
-          Kita dapat secara terbuka berbagi kompetensi, masalah, dan kepekaan kita, kita dapat meredam kemarahan dan membuat situasi tenang kembali.
-          Kita dapat menyatakan pikiran dan perasaan dan memberi kesempatan kepada orang lain melakukan hak yang sama.
-          Kita dapat mendefinisikan nilai, keyakinan, prinsip hidup yang kita anut, dan bersikap sesuai dengan definisi tersebut.
-          Kita dapat mendefinisikan apa yang kita rasakan dalam relasi yang terjalin dan menjelaskan batas-batas toleransi dalam menerima perilaku orang lain.
-          Kita dapat pergi, tentu saja apabila perlu.

Nah, timbul pertanyaan, jelaskah posisi kita dalam kebersamaan kita dengan orang yang bermakna bagi diri kita?

Gigi dan Daya Ingat


Gigi dan Daya Ingat

PELIHARALAH gigi anda sebaik mungkin. Para ilmuwan Jepang di Laboratorium Neurologis Nasional di AS menghasilkan sebuah penemuan yang patut diperhatikan.

Hasil penelitian menunjukkan tanggalnya gigi manusia di usia dini membuat manusia itu mengalami risiko kehilangan daya ingat di usia dewasa awal.

Sebanyak 4.000 peserta berusia mulai 65 tahun ke atas menjalani tes kesehatan gigi, latihan psikis, dan daya ingat. Para partisipan yang masih memiliki beberapa gigi asli memiliki daya ingat yang lebih baik jika dibandingan dengan para partisipan yang tidak lagi memiliki gigi asli.

“Infeksi di gusi dapat memicu tanggalnya gigi berpotensi melepaskan zat inflamasi, yang menyebabkan neuronal tidak berfungsi dan kehilangan daya ingat,” jelas Nozomi Okamoto, ketua penelitian. (Healthday/*/X-6).  (Dari Media Indonesia, Kamis, 6 Januari 2011). (Ditulis kembali oleh: Mohamad Istihori)