Minggu, 12 Desember 2010

Madani Berkurban

Jum`at, 26-11-2010

Madani Berkurban

Gema takbir berkumandang menandakan bahwa hari ini, Selasa (16/11). Bagi sebagian umat Islam hal ini merupakan tanda Hari Raya Idul Adha (Idul Kurban) telah tiba. Demikian halnya di Madani. Setelah melaksanakan sholat Idul Adha, Madani Mental Health Care menyelenggarakan penyembelihan hewan kurban.

Tahun ini ada tiga hewan kurban yang disembelih. Satu ekor sapi dan dua ekor kambing. Segenap staf Madani, sahabat Madani, dan warga sekitarnya turut serta dalam proses penyembelihan dan pendistribusian daging hewan kurban kepada yang berhak menerimanya. Ust. Misbah berlaku sebagai penyembelih hewan kurban sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.

Penyembelihan kurban yang digelar di Pendopo Madani Mental Health Care tahun ini selain bertujuan untuk menjalankan perintah berkurban juga sebagai bentuk kepedulian Madani kepada penduduk sekitar. (MIs)

Tentang Hidup (Sebuah Terapi Mental)


Senin, 22-11-2010

Tentang Hidup
(Sebuah Terapi Mental)

Oleh: Mohamad Istihori

ð  Siapa yang mengetahui jauhnya jarak perjalanan maka ia akan tahu kira-kira apa bekal yang harus ia persiapkan.

ð  Wa maa kholaqtul jinna wal insa illa liya`buduun = “Dan tidaklah Kami ciptakan jin dan manusia kecuali agar mengabdikan diri (ibadah) kepada-Ku.”

ð  Hidup itu ibadah plus indah.

ð  Hidup itu permainan. Maka karena ia merupakan permainan maka kita harus:

1.      Sungguh-sungguh
2.      Latihan (persiapan)
3.      Professional
4.      Menjadi subyek bukan obyek
5.      Mengetahui aturan main
6.      Mengetahui posisi
7.      Mempunyai mental juara
8.      Menikmati hidup
9.      Menjalani setiap level

(Materi ini disampaikan oleh Ust. Ginanjar Maulana di Musholah al Madani)

Fight HIV/AIDS with Faith


Senin, 15-11-2010

Press Realess HANI 2010 Madani Mental Health Care

Fight HIV/AIDS with Faith

Oleh: Mohamad Istihori

Keimanan (faith) merupakan unsur utama dalam kehidupan beragama setiap manusia. Keimanan (kepercayaan) inilah yang membuat kita mampu mentaati perintah Allah SWT. Dalam perintah Allah sudah pasti tersimpan banyak hikmah. Karena Allah tidak semata-mata memberikan sebuah perintah kecuali ada pelajaran yang bisa diambil di dalamnya.

Ketika Allah mengharamkan perzinahan, pergaulan bebas, dan narkoba kita akan banyak mendapatkan manfaat kalau kita kuat menahan diri untuk tidak melanggar larangan Allah tersebut. Namun manusia yang kurang imannya akan tergoda ketika diiming-imingi oleh salah satu di antara tiga hal haram di atas. Di saat kemaksiatan dan dosa sudah menjadi “lalap” sehari-hari kita maka salah satu azab Allah di dunia adalah semakin marak dan meningkatnya penyebaran virus HIV/AIDS.

Berperang (fight) melawan penyebaran dan penularan virus HIV/AIDS merupakan sebuah perjuangan tiada henti. Segenap komponen dan unsur yang ada dalam masyarakat diharapkan untuk terus memperkaya informasi tentang virus mematikan yang belum juga ditemukan obatnya ini agar bisa memahami bagaimana pencegahan dan penanganan virus serta Orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

Madani Mental Health Care (MMHC) sebagai salah satu lembaga yang bergerak di bidang rehabilitasi korban skizofrenia dan narkoba, tentunya kita semua sudah sangat prihatin saat melihat jumlah ODHA yang setiap tahunnya mengalami peningkatan.

Berbagai macam penyuluhan, seminar, talk show, dan berbagai macam bentuk forum diskusi dan konsultasi yang membahas tentang HIV/AIDS dan ODHA terus diselenggarakan dan digelar. Kita memang tidak boleh putus asa dan harus terus memacu tenaga, pengetahuan, keterampilan, semangat, motivasi, dan kepedulian mengenai hal ini. Karena kalau bukan kita yang mau peduli, lalu siapa lagi?

Menurut hemat kami pencerahan keimanan merupakan salah satu metode jitu untuk “berperang” melawan virus HIV/AIDS. Meskipun patut kita semua sadari bahwa pencerahan iman ini tidak bisa berdiri sendiri. Tetap dibutuhkan berbagai macam faktor pendukung lainnya untuk menunjangnya.

Tanpa iman yang kuat manusia seperti kita cenderung berbuat nekat. Waktu kosong tanpa aktivitas apapun biasanya akan kita isi dengan kegiatan-kegiatan yang berbau maksiat. Nah, perbuatan maksiat inilah yang bisa menjadi penyebab seseorang terjangkiti atau tertular penyebaran virus HIV/AIDS. Apakah itu karena seseorang suka “jajan” di luar atau karena pemakaian jarus suntik secara bergantian dengan ODHA. Di sinilah pentingnya faktor iman sebagai amunis utama untuk melawan virus HIV/AIDS.

Selamat berjuang!!!

Senin, 08 November 2010

Waspadai Narkoba

Dadang Hawari - waspadai narkoba

Diambil dari Sinar Harapan online..

Jakarta – Peringatan Hari Pemuda Internasional pada 12 Agustus, menggugah Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, psikiater yang aktif dalam pemberantasan NAZA (Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif) berpesan kepada generasi muda senantiasa mewaspadai narkotika.

”Peran keluarga serta lingkungan, dan agama sebagai kontrol pergaulan remaja sangat penting dalam menghindari penyalahgunaan narkotika,” ujar Dadang Hawari di Jakarta, Rabu (11/8).
Psikiater yang aktif memberikan terapi bagi pecandu narkotika itu mengemukakan, sangat prihatin dengan banyaknya remaja mulai dari pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga mahasiswa.

Padahal, menurut dia, mereka adalah anak bangsa, aset negara dan merupakan generasi penerus. Banyak kasus yang ditanganinya, akibat hilangnya kontrol keluarga, serta lemahnya iman dan ketakwaan si penderita.

”Sebanyak 70 persen pasien saya yang menggunakan narkotika adalah remaja usia sekolah, baik yang duduk di bangku SMP, SMU, maupun Perguruan Tinggi,” katanya.
Menurut dia, mereka terkontaminasi hal-hal terlarang itu melalui pergaulan yang tidak sehat. Padahal, NAZA selain merusak sistem neurotransmitter (sinyal pengantar saraf).

Selain itu, mereka juga dapat terjerumus dalam dua hal yang fatal, yaitu terkena virus maupun sindroma merapuhnya kekebalan tubuh (HIV/AIDS) dan pengaruh seks bebas akibat pengaruh narkotika yang dapat melemahkan fungsi kontrol diri, sehingga dorongan seksual tidak terkendalikan.

Bagi pengguna jarum suntik ke nadi (intravena) yang menerapkannya secara bergantian di kalangan pemadat jenis opiat (morfin dan heroin) juga berisiko tinggi menularkan HIV/AIDS.

Data statistik Departemen Kesehatan pada 1999 mencatat, terdapat dua hingga empat persen (sekitar empat juta hingga delapan juta jiwa) dari seluruh penduduk Indonesia yang menjadi pemakai narkoba. Sekitar 70 persen dari pecandu narkoba itu adalah anak usia sekolah berusia 14 hingga 21 tahun.

Dadang menyebutkan, pada 2003 Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat jumlah penderita ketergantungan NAZA mencapai angka tiga persen atau sekitar 6,6 juta jiwa.

Penyalahgunaan narkotika merupakan fenomena gunung es, yakni apa yang tampak tidak seperti aslinya. Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat angka di lapangan bagi pecandu NAZA dapat diasumsikan menjadi 10 kali lipat dari jumlah yang tercatat resmi.
Dadang sangat prihatin, karena penyalahgunaan narkotika sudah banyak merengut nyawa ribuan putra-putri bangsa Indonesia. Penelitian yang dilakukan terhadap pasiennya menunjukkan, tingkat kematian penderita ketergantungan narkotika mencapai 17,16 persen.

”Banyak di antara anak-anak tersebut yang berpotensi menjadi orang hebat dan sukses, namun narkotika telah membuat mereka kehilangan masa depan,” katanya.
Hari Pemuda Internasional yang dicanangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu, menurut dia, seharusnya mengingatkan generasi muda bahwa mereka adalah penerus harapan dan perjuangan bangsa sehingga potensi yang ada tidak boleh hilang, apalagi mati sia-sia.

Ia juga menegaskan, narkotika diharamkan dari segi agama dan undang-undang. Peredaran narkotika harus dihentikan dengan kerja sama berbagai pihak, yaitu orangtua, guru, masyarakat, terutama aparat pemerintah dan keamanan untuk menegakkan hukum.

”Bagi yang sudah terlibat dengan narkotika, berobat dan bertobatlah sebelum masuk penjara, serta berobat dan bertobat sebelum maut menjemput,” demikian Dadang Hawari. (*)

Tak Benar, Kondom Mendorong Seks Bebas

Dadang Hawari - Tak Benar, Kondom Mendorong Seks Bebas

Sumber SatuDunia

E. Haryadi

Jakarta, SatuDunia. Pernyataan Prof. Dr. Dadang Hawari bahwa kondom tidak efektif mencegah penularan infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS dianggap menyesatkan. Apalagi, bila ada anggapan kondom justru mendorong seks bebas.

Pernyataan itu mengemuka dalam diskusi efektivitas kondom dalam pencegahan HIV/AIDS di Jakarta pekan lalu. Diskusi yang digelar Komisi Penanggulangan AIDS Jakarta itu menghadirkan Direktur Yayasan Kusuma Buana dr. Adi Sasongko, Direktur LSM Infokespro Syaiful W. Harahap, dan aktivis Kantor Aksi Penanggulangan AIDS (Kapeta) Aziza.

Diskusi itu sendiri dipicu oleh pernyataan Prof. Dr. Dadang Hawari di harian Radar Banten, 11 September 2007. Psikiater sekaligus penceramah itu kepada wartawan mengungkapkan keraguannya tentang efektivitas kondom mencegah HIV/AIDS karena tingkat kebocorannya tinggi.

“Yang bilang kondom aman 100 persen itu menyesatkan,” terang psikiater Prof Dr dr Dadang Hawari saat memberikan penyuluhan bahaya narkoba dan HIV/AIDS pada ratusan pelajar, di Alun-alun Barat Serang, Senin (10/9).

Selain itu, ada anggapan kondom juga sering dinilai mendorong seks bebas.

Kondom Berpori
Menurut dr. Adi Sasongko, pernyataan Dadang Hawari itu menyesatkan. Bila tak segera diluruskan, ia khawatir pendapat itu semakin memperkecil partisipasi publik dalam penggunaan kondom yang sampai sekarang pun masih tetap rendah. Akibatnya, penyakit IMS dan HIV/AIDS bakal semakin berkembang cepat.

Menurut dr. Adi Sasongko, meski tidak 100% aman, kondom merupakan satu-satunya alat pencegahan yang selama ini terbukti efektif untuk membendung percepatan penyebaran virus HIV. Karena itu, ia membantah asumsi kebocoran itu karena kondom memiliki pori-pori.

Menurut laporan Consumer Report tahun 1999, kata Adi, kondom lateks yang diregang dan diperiksa dengan mikroskop elektron dengan pembesaran 30.000 kali tidak memperlihatkan adanya pori-pori dalam kondom.

Selain itu, kata Adi, laporan penelitian New England Journal of Medicine edisi 11 Agustus 1994 menunjukkan fakta menarik.

Dari penelitian terhadap 254 pasangan yang salah satunya terinfeksi HIV, pada 124 pasangan yang konsisten menggunakan kondom tidak ditemukan adanya penularan. Sementara, pada 121 pasangan lain yang tidak konsisten menggunakan kondom ditemukan penularan HIV pada 12 orang.

Hasil evaluasi ‘Cohrane Review’ tanggal 25 Mei 2001 juga menyimpulkan, penggunaan kondom secara konsisten mempunyai kemampuan mencegah transmisi HIV dengan efektivitas 80%. Evaluasi ini dilakukan terhadap 4.709 publikasi ilmiah mengenai efektivitas kondom.

“Walaupun tidak memberikan jaminan 100%, jika digunakan secara benar dan konsisten, kondom efektif untuk mencegah IMS dan AIDS,” kata dr Adi.

Seks Bebas
Sementara itu, pengamat media Syaiful W. Harahap menyesalkan para wartawan yang begitu saja mengambil mentah-mentah pernyataan narasumber tanpa sikap kritis. Salah satunya adalah pernyataan bahwa penggunaan kondom dapat mendorong seks bebas.

“Tidak ada kaitan antara seks bebas atau penzinah dengan kondom,” tegasnya. Sebab, kata Syaiful, seks bebas sudah ada sebelum kondom. Dan sampai sekarang tidak ada penzinah yang mau menggunakan kondom, apalagi jika dia harus membayar pekerja seks komersial dengan tarif 1.000 dolar AS.

Karena itu, Syaiful menilai sebuah kekeliruan karena mencampuradukkan HIV/AIDS sebagai fakta medis dan fakta moral.

“Bila komunitasnya belum tertular, silakan bicara moral sebagai cara pencegahan. Namun, bila komunitasnya sudah tertular, maka kita harus bicara HIV sebagai fakta medis. Termasuk pencegahannya, dengan penggunaan kondom,” paparnya.

Sebab, kata Syaful, bila jurnalis menulis HIV/AIDS sebagai fakta moral, hal ini akan menimbulkan bias. Akibatnya yang mencuat adalah mitos (anggapan keliru) di masyarakat. Padahal, kata Syaiful, Indonesia kini termasuk negara nomor tiga dalam kecepatan penambahan kasus infeksi HIV baru di Asia.

Subtipe Skizofrenia

Subtipe Skizofrenia

Oleh : Anta Samsara

Ada beberapa subtipe skizofrenia:

1. Skizofrenia Paranoid dengan ciri mempunyai perasaan yang takut akan ancaman dan hukuman.
2. Skizofrenia Katatonik dengan ciri diam membisu.
3. Skizofrenia Sengkarut/Kacau dengan ciri perilaku yang kacau, rusak, dan kekanak-kanakan. (semula dinamai Skizofrenia Hebefrenik).
4. Skizofrenia Sederhana (Simple Schizophrenia) dengan ciri bersikap apatis, tidak peduli terhadap lingkungan, menarik diri dari pergaulan sosial, dan sama sekali tak peduli terhadap dunia sekitarnya namun tidak ada halusinasi dan tidak berperilaku kacau. Subtipe ini kini tak lagi diakui ke dalam golongan penyakit skizofrenia.
5. Skizofrenia Residual yang memperlihatkan gejala-gejala sisa.

Sejarah Istilah Skizofrenia

Menurut The Oxford English Dictionary (1989) kata schizophrenia (skizofrenia) marupakan adaptasi dari kata dalam Bahasa Jerman schizophrenie. Kata ini diciptakan oleh E(ugen) Bleuler (1857-1939) dalam bukunya Psychiatrisch-Neurol. Wochenschr. kata dalam Bahasa Jerman itu sendiri berasal dari Bahasa Yunani yaitu schizein yang artinya 'belah, pisah' (to split) dan phren yang arinya 'pikiran' (mind) .

Sebenarnya skizofrenia semula dinamai dementia praecox pada tahun 1899 yang juga adalah sebuah istilah Yunani yang artinya kemunduran fungsi intelektual (dementia) di usia dini (praecox) yang ditandai dengan daya pikir yang makin lama makin memburuk dan disertai gejala berupa waham dan halusinasi.

Eugen Bleuler memperkenalkan istilah skizofrenia karena penyakit ini mengakibatkan terpecahnya antara pikiran, emosi dan perilaku. Istilah skizofrenia menggantikan istilah dementia praecox semenjak ia tak selalu disertai oleh kemunduran daya pikir dan tidak selalu terjadi di usia muda.

Penjelasan Lebih lanjut

Skizofrenia adalah gangguan jiwa dengan gejala utama berupa waham (keyakinan salah dan tak dapat dikoreksi) dan halusinasi (seperti mendengar dan melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada). Skizofrenia adalah juga penyakit yang mempengaruhi wicara serta perilaku. Seseorang yang menderita skizofrenia mungkin mengaku bahwa diri mereka adalah 'orang besar'. Seperti halnya pengalaman Satira Isvandiary (Evie) yang dituturkan dalam psikomemoarnya bahwa ia yakin jika ia adalah Ratu Adil yang dapat berbicara dengan segala makhluk tanpa batasan bahasa dan dapat berhubungan dengan Tuhan secara langsung. Pada kasus yang lebih jarang, bahkan ada penderita yang mengaku bahwa ia adalah Tuhan itu sendiri. namun gejala itu dapat bertumpuk dengan pikiran dan perasaan bahwa mereka adalah korban dari para penyiksa (victim of persecutors). mereka tak berdaya menghadapi kenyataan hidup karena pikiran dan perasaan mereka dipenuhi oleh waham dan halusinasi yang membuat diri mereka melambung dan sekaligus terhempas. Pada banyak kasus ketersiksaan itulah yang cenderung bertahan lama di dalam diri penderita, sehingga menurut data statistik 50% penderita skizofrenia pernah berusaha bunuh diri dan 10% berhasil mati.

Kenali Gejala-Gejalanya

Karena skizofrenia adalah penyakit yang kompleks, maka digunakanlah teknik untuk memeriksa secara medis sehingga penderita dapat dipelajari dengan cara yang objektif. salah satu pendekatan untuk menyederhanakan gejala-gejala skizofrenia adalah para peneliti membaginya menjadi gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif dapat didefinisikan sebagai fungsi yang berlebih atau terdistorsi dari fungsi normal, sedangkan gejala negatif dapat didefinisikan sebagai fungsi yang kurang atau hilang bila dibandingkan dengan fungsi normal.

Gejala positif meliputi waham, halusinasi, kekacauan wicara dan kekacauan perilaku seperti mendengar sesuatu yang tidak didengar oleh orang lain dan memakai pakaian yang tidak cocok dengan suasana.

Gejala negatif terdiri atas:
1. Perasaan yang datar (ekspresi emosi yang terbatas).
2. Alogia (keterbatasan pembicaraan dan pikiran, dalam hal kelancaran dan produktivitas).
3. Avolition (keterbatasan perilaku dalam menentukan tujuan).
4. Anhedonia (berkurangnya minat dan menarik diri dari seluruh aktivitas yang menyenangkan yang semula biasa dilakukan oleh penderita).
5. Gangguan perhatian (berkurangnya konsentrasi terhadap sesuatu hal).
6. Kesulitan dalam berpikir secara abstrak dan memiliki pikiran yang khas (stereotipik).
7. Kurangnya spontanitas.
8. Perawatan diri dan fungsi sosial yang menurun.
(Benhard Rudyanto Sinaga. Skizofrenia dan Diagnosis Banding. 2007).

Gejala negatif skizofrenia nampaknya saling tumpang-tindih satu sama lain. Tiap-tiap gejalanya mewakili pengurangan dalam kemampuan emosional dan daya pikir yang penting bagi aktivitas sehari-hari.

Penyebab Skizofrenia

Faktor genetis

Skizofrenia disebabkan oleh banyak faktor. Skizofrenia jelas-jelas memiliki dasar biologis. namun nampaknya faktor psikososial juga berperan penting.
Hal pertama yang tidak boleh dilupakan adalah genetika. Walaupun ada kesulitan untuk menentukan gen mana yang mengakibatkan timbulnya skizofrenia, penelitian menunjukkan bahwa faktor pewarisan gen memiliki peranan dalam timbulnya skizofrenia pada seorang individu.

Dari berbagai penelitian terhadap anak kembar. mulai yang dilakukan oleh Luxenburger (1928) hingga Gottesman dan Shields (1972) dapat diketahui potensi anak kembar satu telur (monozygotic twin) untuk menderita skizofrenia adalah 35-69%. Pada kembar dari telur yang berbeda (dizygotic twin) kemungkinannya adalah 0-27% (Atkinson, Atkinson dan Hilgard. Pengantar Psikologi. 1996).

Apabila salah satu orang tua menderita skizofrenia, maka kemungkinan anaknya menderita skizofrenia adalah 10%. Sedangkan bila kedua orang tua menderita skizofrenia kemungkinannya naik menjadi 40%. bahkan bila tak ada kerabat yang menderita skizofrenia, seseorang secara genetis masih mungkin menderita skizofrenia, karena potensi dalam populasi untuk menderita skizofrenia adalah 1%. Sehingga saat ini di kala Indonesia berpenduduk 230 juta jiwa, maka ada 2,3 juta orang yang menderita skizofrenia di negeri ini.

Faktor Neurokimiawi

Teori biokimiawi yang paling terkenal adalah hipotesis dopamin. Dopamin adalah salah satu neurotransmiter (zat yang menyampaikan pesan dari satu sel saraf ke sel saraf yang lain) yang berperan dalam mengatur respon emosi. Pada penderita skizofrenia, dopamin ini dilepaskan secara berlebihan di dalam otak. Sehingga timbullah gejala-gejala seperti waham an halusinasi.

Adapun penggunaan antipsikotik (obat medis untuk skizofrenia) generasi pertama (yang terkenal dengan sebutan obat tipikal) seperti Haloperidol dapat menimbulkan suatu dilema karena obat ini menekan pengeluaran dopamin di mesolimbik dan mesokortikal. Penurunan aktivitas dopamin di jalur mesolimbik memang dapat mengatasi gejal positif seperti waham dan halusinasi, namun akan meningkatkan gejala-gejala negatif seperti penarikan diri dari peraulan sosial dan penurunan daya pikir. hal tersebut dapat diatasi dengan penggunaan antipsikotik generasi kedua (yang terkenal dengan sebutan obat atipikal) seperti Risperidone dan Quetiapine karena antipsikotik atipikal menyebabkan dopamin di jalur mesolimbik menurun tetapi dopamin yang berada di jalur mesokorteks meningkat. (Benhard Rudyanto Sinaga. Skizofrenia dan Diagnosis Banding. 2007).

Sumber : http://skizo-friend.blogspot.com